Sabtu, 27 November 2010

insa – greeting-


(hero jaejoong)


Barami momun gu shigan jocha
Naegen nomu mojarangol
Hanbone miso majimak insa
Saranghamnida gudel

Shigane jichodo sarang-e apado
Gu shigan jocha chuogigo
Majimak insal haneyo
Saranghamnida saranghamnida


Fly away fly away love
Fly away fly away love
Fly away fly away love

Neseng-e dan hanbone sarang-a ahnyong

(Translation)

Even that time when the wind stays
Its not enough for me.
I smile one more time and give my final greeting:
I love you.
I am tired now and love hurts but
Even if that time is just a memory
I have to give my final greeting.
I love you, I love you.
Fly away Fly away LOVE
Fly away Fly away LOVE
Fly away Fly away LOVE
In the afterlife I will greet my love again

Read More »»

mencintai sejantan ‘Ali (salim a.fillah)


kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-



Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.
Di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita..


July 9, 2008 by salim-a-fillah
http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/07/mencintai-sejantan-ali/
Read More »»

Jumat, 26 November 2010

journey ~ Angela zhang

It’s a long long journey
Till I know where I’m supposed to be
It’s a long long journey
And I don’t know if I can believe
When shadows fall and block my eyes
I am lost and know that I must hide
It’s a long long journey
Till I find my way home to you

Many days I’ve spent
Drifting on through empty shores
Wondering what’s my purpose
Wondering how to make me strong

I know I will falter I know I will cry
I know you’ll be standing by my side
It’s a long long journey
And I need to be close to you

Sometimes it feels no one understands
I don’t even know why
I do the things I do
When pride builds me up till I can’t see my soul
Will you break down these walls and pull me through

Cause It’s a long long journey
Till I feel that I am worth the price
You paid for me on calvary
Beneath those stormy skies

When satan mocks and friends turn to foes
It feels like everything is out to make me lose control
Coz It’s a long long journey
Till I find my way home to you.. Ohh.. to you..
Read More »»

Senja Terakhir

“Apa maksudmu?” Tanya Ray hati-hati pada kekasihnya. Hatinya porak poranda. Ia tidak menyangka kalau rasanya akan lebih sakit daripada yang ia bayangkan. Ya, hatinya sakit.

“Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Ray. Aku tak ingin lagi berhubungan denganmu. Denganmu, ataupun dengan laki-laki manapun!” Ray tercekat. Kata-kata terakhir dari kekasihnya begitu meluluh lantakkan hatinya. Cinta yang ia kira akan selamanya, telah kandas.

“Ke.. kenapa, Rian?? Kenapa tiba-tiba kau ingin putus…?” Takut-takut Ray bertanya pada Rian, kekasihnya itu. Takut kalau hal yang akan dikatakan Rian akan lebih membuatnya sakit. Dengan tatapan penuh harap ia memandang Rian, yang sedari tadi tak menoleh padanya. Melainkan selalu memalingkan muka.

“Aku ingin kembali normal, Ray. Kau pasti mengerti. Akhir-akhir ini… aku selalu memikirkan seorang gadis yang aku kenal. Dan aku berpikir, mungkin aku bisa kembali menjadi laki-laki pada umumnya. Maafkan aku, Ray… lebih baik kita kembali kepada kodrat kita sebagai laki-laki…”

Sesak, tiba-tiba saja nafas Ray sesak. Seperti ada panah tajam yang tak terlihat menghujam hatinya tanpa ampun. Luar biasa sakit yang ia rasakan. Matanya pun berkaca-kaca. Sambil tertunduk, ia menyesali kepergian kekasihnya…
*  *  *  *  *


Ray terbangun dari tidurnya. Matanya menyapu seluruh pemandangan malam di luar jendela bus antar provinsi yang ia naiki. Gelap dan sesekali berhias lampu-lampu neon lima watt. Ray memutuskan untuk pergi meninggalkan kotanya, menjauh dari segala hal yang bisa membuatnya teringat akan kenangannya bersama Rian. Mungkin tempat yang kini ia tuju akan memberinya obat dari luka yang ia rasakan kini.

Ia sangat tahu, kalau dirinya itu memang bukanlah manusia normal. Tepatnya, bukan laki-laki normal pada umumnya. Masa lalu yang pahit bersama ibu kandungnya yang kejam membuatnya begitu benci dengan manusia bernama perempuan. Walau mungkin, orang lain tak pernah tahu dengan ketidak-normalannya selama ini. Kalau pun ada yang tahu, pasti tidak akan percaya. Melihat Ray yang berwajah tampan, dan berpenampilan layaknya laki-laki biasanya. Kadang ia tertawa, melihat beberapa surat cinta yang dialamatkan padanya. Semua perempuan itu pembual dan bermuka dua!, pikir Ray. Kakak perempuannya, juga teman-teman kakaknya membuktikan itu semua. Mereka yang bermuka manis di depan laki-laki, tapi diam-diam menusuk dari belakang, membuatnya semakin jijik kepada perempuan.

Namun Ray tetaplah manusia biasa. Manusia yang memang fitrahnya bisa merasakan cinta. Tapi cinta itu bukan hadir dalam wujud bidadari berparas jelita, atau putri kahyangan yang memiliki senyum termanis. Melainkan dari seorang Rian yang ternyata bernasib sama dengannya. Yang ia temui di salah satu night club di ibu kota. Tiga tahun ia tenggelam dalam cinta yang sangat ia muliakan itu. Cinta yang justru akan membuat makhluk di dunia merasa jijik. Ray tak peduli, yang penting baginya adalah ia mendapat kebahagiaan yang ia cari selama ini. Tapi ternyata, kebahagiaan itu pun harus kandas.

Bus yang ia naiki akhirnya tiba di kota yang ia tuju. Bergegas ia mengemasi barang bawaannya. Dan saat bus benar-benar berhenti, ia turun. Bersama beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya.

Pagi masih begitu dini. Dengan keremangan Ray menapaki jalan menuju rumahnya. Ini memang bukan kali pertamanya ia datang ke kota ini. Beberapa kali dalam setahun, ia akan mengunjungi kota ini karena keperluan pekerjaan. Pekerjaannya sebagai seniman memang sedikit banyak menuntutnya untuk mengunjungi banyak kota. Hal itulah yang membuat Ray harus memiliki rumah di beberapa kota. Ya, Ray memang seorang seniman yang cukup di kenal. Walau tak ada yang tahu kebusukan di dalam dirinya. Setidaknya, sampai saat ini orang di sekitarnya, atau para seniman-seniman di sekelilingnya tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadinya. Ia hanya di kenal sebagai seniman sejati yang sampai saat ini setia dengan kelajangannya.

“Eh, kok ga pakai mobil, tuan..?” sapa satpam penjaga rumah setengah kaget dan setengah terkantuk saat Ray tiba di depan rumah. Satpam itu tidak biasa melihat tuannya hanya berjalan kaki.

“Mobil dan rumah saya di sana sudah di jual, Pak. Mungkin saya tidak akan kembali kesana lagi.” Jelas Ray dengan suara yang menyiratkan lelah. Satpam itu hanya diam dan tidak kembali bertanya.

Setiba di rumah, Ray merebahkan tubuhnya di sofa yang empuk. Matanya terasa begitu berat. Belum sampai satu menit, Ray sudah kembali terlelap.

Tiba-tiba saja Ray merasakan panas di sekujur badannya. Panas tiada tara. Ray meringis, karena ada perih yang ia rasakan di badannya. Keringat membanjiri tubuhnya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia terkejut mendapati dirinya sama sekali tidak berpakaian. Sontak ia terbangun.

“Aaarghh!.” Jerit Ray saat ia mencoba untuk bangkit. Ia tidak bisa mengangkat tubuhnya sendiri. Dalam keadaan terbaring ia melihat bekas-bekas luka cambukan memenuhi tubuhnya. Luka-luka itu semakin perih karena ia terbaring di atas pasir panas. Entah sekarang ia ada dimana. Ia tak sanggup mendongakkan kepala menatap langit. Karena matahari yang kini memanggang tubuhnya, terasa begitu sangat dekat dari dirinya.
Ray ingin menangis. Sakit yang ia rasakan benar-benar tidak bisa ia tahan. Belum lagi dengan bau anyir darah yang tercium dari luka-lukanya yang menganga. Perutnya mual, benar-benar mual. Ray bingung dengan apa yang terjadi padanya. Kenapa ia bisa berada di tempat ini? Padang pasir yang luas, dan tak ada seorangpun terlihat. Kenapa ia bisa begini? Kemana pakaiannya? Siapa yang telah menyiksanya dengan sedemikian rupa? Namun semua pertanyaannya itu tak terjawab. Terhanyut dalam sakit di sekujur tubuhnya, akhirnya Ray pingsan.

Ray kembali tersadar saat tiba-tiba saja ia merasa ada seseorang yang mendekat. Perlahan matanya terbuka. Dan alangkah terkejutnya ia, melihat Rian berdiri menatapnya. Rian tersenyum.

“Sa… sayang…” lirih Ray dengan suara nyaris tak terdengar. Ray ingin menggapai wajah Rian, orang yang ia kasihi itu. Namun ia tak sanggup menggerakkan tangannya.

“Ray, aku sekarang bahagia!” Rian berseru riang. Seolah tak peduli dengan apa yang sedang Ray rasakan.

“Keputusanku yang aku ambil, untuk segera meninggalkanmu dan kembali normal itu ternyata tidak salah… aku justru mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat, Ray! Kau tidak percaya?? Gadis itu mau menikahiku… ahh, aku sungguh bahagia…” Rian tersenyum lagi. Benar-benar menyiratkan kebahagiaan. Ray mengerutkan kening. Bingung yang ada di kepalanya semakin kusut.

“Kau ingin tahu kenapa aku ada di sini, Ray? Hahaa… lihatlah Ray. Luka-luka yang sudah sembuh di tubuhku ini… hanya sebentar saja aku rasakan perihnya. Allah ternyata sungguh berbaik hati… dia mau mengampuniku yang benar-benar sudah kotor ini…”
Ray berusaha untuk memperhatikan Rian lebih seksama lagi. Keadaan Rian benar-benar jauh berbeda darinya. Rian berpakaian serba putih. Memang bekas luka masih terlihat di mukanya, tapi luka-luka itu sudah sembuh. Wajahnyapun bersinar teduh, bersih. Dan Rian sama sekali tidak berkeringat! Padahal di tengah padang pasir yang teramat panas ini. Ray semakin menemukan jalan buntu. Ia semakin bingung.

“Kau ingin bertanya bagaimana gadis itu, Ray?” Rian tersenyum, tersipu-sipu. Tanpa perlu menunggu jawaban dari Ray, Rian langsung bercerita.

“Mungkin memang bukan takdirku untuk menikahi gadis sesuci dia, Ray. Aku di jemput lebih dulu setelah hari pernikahanku di tetapkan. Yah, aku bersyukur. Setidaknya aku yang kotor ini tidak akan menodai gadis itu. Aku benar-benar bahagia, Ray! Sebelum aku mati… aku bisa merasakan cinta yang memang sebenarnya cinta… ya, aku benar-benar mencintai gadis itu…” mata Rian menerawang jauh, tapi senyum masih menghiasi wajahnya yang teduh.

“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Allah menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…” Rian mulai beranjak. Tanpa menanyakan keadaan Ray yang semakin tenggelam dalam sakit dan kebingungannya. Ray ingin menahan Rian agar jangan pergi, namun suaranya tak bisa lagi keluar. Akhirnya, Ray hanya bisa melihat Rian yang menjauh dengan linangan air mata.

“Tuhan??” hatinya bertanya pada nuraninya sendiri. Beberapa kali Rian menyebutkan nama Tuhan. Selama ini ia tidak pernah mengenal dengan Tuhannya. Walau ia yakin tuhan itu ada. Tanpa ia sadari, air matanya deras menganak sungai. Ray tergugu.

*  *  *  *  *

“Bip,bip… bip,bip… bip,bip…” alarm di Hp Ray berbunyi. Ray tersentak dan bangkit secara mendadak. Sesaat ia pusing, karena bangkit secara tiba-tiba. Di perhatikan keadaan di sekelilingnya. Dan ia lihat pakaiannya, juga tubuhnya. Tak ada luka sedikitpun. Tapi air matanya benar-benar meleleh.

“Huuffhhh… Cuma mimpi.” Desahnya lega. Sambil mengusap pipinya yang basah. Ia kembali duduk di atas sofa. Ray memegang kepalanya, mencoba mengingat-ingat mimpinya. Benar-benar mimpi yang mengerikan.

“Hahaa… Cuma mimpi. Syukurlah…” gumam Ray sembari tertawa. Iapun bangkit dari sofa, beranjak menuju kamar mandi. Hari ini dia punya janji dengan salah satu seniman di sini. Ia berjanji untuk menghadiri pameran lukisan yang dibuka temannya itu sejak dua hari yang lalu. Ray memang telah mengatakan pada para teman senimannya di kota ini, bahwa ia akan pindah rumah.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian,  Ray meraih kunci mobil yang telah lama tidak ia gunakan. Sebelum sampai di gedung pameran ia harus mencari sarapan terlebih dahulu. Perjalanan tadi pagi yang melelahkan membuatnya sangat lapar.

Pagi ini tampak lebih indah dari biasanya. Cerah, biru membahana. Lukisan kapas-kapas putih menghiasi biru itu. Bergerombol, membuat bentuk-bentuk aneh tak beraturan. Menambah elok paras langit hari ini.

Setibanya di sebuah kafe sederhana, Ray memilih kursi dekat dengan jendela. Ia ingin menikmati sarapan sembari menatap langit. Untunglah pelanggan yang datang masih sedikit. Ray jadi merasa bebas bersantai menikmati sarapan pagi. Sejenak ia bisa melupakan mimpi yang sedikit membuatnya takut itu.

Ray menyeruput kopi yang masih mengepul. Tubuhnya secara serentak merasa hangat. Tiba-tiba saja matanya berbenturan dengan sosok yang baru masuk ke dalam kafe. Ray mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat-ingat wajah yang rasanya pernah ia kenal itu. Wajah mungil dengan bibir tipis kemerahan. Berkacamata, rambutnya berbalut kain berwarna biru muda. Wajah yang cerah, secerah pagi ini. Ray bukan mengagumi wajah jelita itu, bukan. Kalau sampai ia mengagumi hal-hal semcam itu, ia akan berpikir kalau ia sudah mulai tidak waras. Ia hanya merasa heran dengan wajah itu. Wajah yang rasanya menguak kenangan lama, namun tak jua berhasil di ingatnya.

“Siapa gadis itu?” tanya Ray dalam benaknya. Ia perhatikan gerak-gerik sang gadis. Yang mengeluarkan laptopnya sambil menunggu pesanan. Mungkin gadis itu akan menghabiskan beberapa jam di kafe ini. Gadis itu duduk tak jauh darinya. Berhadapan, tepat menghadap Ray. Sesekali menyeruput teh hangat yang baru di pesannya. Matanya tak lepas dari layar monitor, dan tangannya sibuk entah mengetik apa.

Tiba-tiba saja mata gadis itu bertemu dengan mata Ray. Ray gelalapan. Sedangkan gadis itu hanya kembali menundukkan kepala. Sebersit benci muncul di hatinya. Merasa bodoh karena telah memperhatikan seorang gadis. Tangannya menepuk-nepukkan kepalanya agak keras. Agar otaknya kembali dalam kewarasan yang biasanya. Ia kesal, karena gadis itu tahu ia memperhatikannya.

“Kau bodoh, ya??!” geram hatinya. Cepat-cepat ia menghabiskan sarapannya. Dan bergegas meninggalkan kafe menuju gedung pameran. Namun sayangnya, selama perjalanan menuju pameran, pikiran Ray belum lepas dari gadis itu. ia benar-benar merasa kalau ia pernah bertemu dengan gadis itu. Entah dimana. Semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat kenangan itu memberontak. Ray membanting setirnya, berbelok berlawanan arah dengan tempat gedung pameran itu berada. Ada yang harus aku lakukan untuk kembali mewaraskan otakku, pikir Ray.

Mobil Ray berhenti di sebuah diskotik. Ia tahu, sepagi ini diskotik memang belum buka. Tapi ia merasa butuh pergi ke diskotik. Ia meraih telpon genggamnya, dan menghubungi seseorang. Ia mengenal pemilik diskotik ini, dan meminta untuk membukanya sekarang.

“Kenapa kau tiba-tiba kemari? Sampai minta bukain pagi-pagi begini… hooaahemm…” tanya pemilik diskotik itu setengah terkantuk. Ia memang tengah terlelap saat Ray menelponnya.

“Aku butuh beberapa gelas. Yang kadarnya rendah saja, aku tidak bisa mabuk pagi ini.” Jelas Ray serius. Walau pemilik tersebut sedikit heran, tapi tetap dipenuhinya juga permintaan Ray itu.

“Bagaiman kabar usahamu ini Jo?” tanya Ray saat ia mulai merasa nyaman. Jo medelik. Dan terkekeh.

“Hehe… kau tau sendiri kan, Ray. Membuka usaha night club ini benar-benar menguntungkan. Orang lebih banyak yang butuh kemari ketika sedang suntuk daripada ke mesjid! Ah, dunia memang sudah gila. Tapi itu menguntungkan aku.. haha..” tawa Jo lepas. Kantuknya nyaris hilang.

“Haha.. dasar kau otak bisnis. Aku mulai hari ini pindah ke kota ini. Jadi mungkin aku akan jadi pelanggan tetapmu mulai sekarang.” Ray kembali menenggak beberapa gelas.

“Oh ya? Kau sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan Rian?” tanya Jo. Jo memang satu-satunya orang yang tahu tentang sifat binatangnya itu. Ray hanya tersenyum getir. Lalu menyeringai.

“Rian? Ah, aku tak kenal dia… haha. Hei, Jo. Kalau kau menemukan orang yang setipe denganku, beri tahu aku ya. Aku sedang butuh seseorang.” Ray menyeringai lagi.

“Hei,hei… kau menakutiku. Apa kau putus dengan Rian??” tanya Jo hati-hati. Ray hanya diam, menatap gelas-gelas dengan dingin.

“Ehm… baiklah. Aku akan mengabarimu kalau aku menemukannya.” Balas Jo lagi tanpa ingin merusak mood temannya itu.

“Tapi, apa kau tidak ingin mencoba perempuan?? Cobalah sekali-kali…. Hehe… kalau bertanya soal perempuan, aku punya banyak koneksi.” Canda Jo lagi. Ray menatap Jo tajam. Membuat Ray menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu, Ray itu walau memiliki kelainan, tapi kekuatannya tetaplah lelaki. Ia bisa habis jika macam-macam dengan sosok atletis itu.

“Sudahlah. Suasana hatiku sedang kacau. Jangan bercanda lagi.” Pinta Ray, tegas. Membuat hati pecundang Jo menjadi ciut. Ray mengambil kunci mobilnya, dan kembali melaju menuju pameran lukisan.

Sesampainya di sana, Ray kembali dikejutkan oleh sesosok gadis. Gadis yang pagi tadi ia lihat di kafe! Dan yang membuatnya bingung, gadis itu kini tampak sedang berdiskusi dengan Andrea, teman senimannya yang mengundangnya untuk datang itu. Ray enggan untuk menghampiri Andrea karena gadis itu. ia pun memilih untuk berkeliling sambil menunggu urusan gadis itu selesai. Ia tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.
Satu jam sudah ia berkeliling, menikmati tiap-tiap lukisan Andrea. sesekali mengomentari di dalam hati, dan tak jarang ia berdecak kagum melihat lukisan-lukisan yang terpajang rapi di sepanjang koridor gedung. Andrea memang seniman berbakat! Pujinya dalam hati. Setelah ia merasa yakin bahwa gadis itu sudah tidak ada lagi, Ray pun mencari Andrea. dan tidak sulit menemukan pemilik pameran ini yang sepanjang hari selalu diikuti oleh wartawan-wartawan lokal.

“Ehem.” Ray berdehem. Andrea menoleh.

“Oh, hai! Ray… waah… akhirnya yang aku tunggu datang juga. Kenapa baru datang?  Kau ini benar-benar senang membuat orang menunggu ya?” sapa Andrea hangat. Ray menjabat tangan sahabatnya itu sambil tersenyum.

“Haha… aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi tadi aku lihat kau sedang asyik berdiskusi dengan seorang gadis. Aku takut mengganggu. Jadi ya… aku berkeliling dulu. Waah, aku salut! Aku akui aku masih kalah dengan lukisan-lukisanmu! Hehe…”

“Seorang gadis? Fira maksudmu?” tanya Andrea.

“Eh? Ah… entahlah. Entah gadis yang mana. Hehe. Lagipula, siapa tahu sedari tadi seniman tampan kita ini sudah berkali-kali mengobrol dengan gadis yang berbeda. Mana aku tahu gadis yang mana. Hehe…” canda Ray.

“Ah, kau ini bisa saja Ray. Kalau yang sejam lalu mengobrol denganku itu namanya Shafira Afifah.”
‘Deg’. Tiba-tiba saja jantung Ray berdegup. Nama itu… ah, benarkah gadis itu??

“Hei, Ray. Kau kenapa?” Andrea menyadarkannya dari lamunannya.

“Ah, tidak. Tidak apa-apa… siapa tadi? Fira? Ada perlu apa ia datang kemari?” tanya Ray berbasa-basi. Walau sebenarnya ia sama sekali tidak ingin membahas tentang gadis itu lebih panjang.


“Dia datang kemari untuk mengamati hasil karya-karyaku ini. Fira itu adik kelasku waktu kuliah di London. Dia seorang pengamat seni, namanya cukup dikenal dikalangan pelukis. Masak kau tidak kenal?”
Ray menerawang. Pelan-pelan ia mulai bisa mengingat gadis itu. Nama gadis itu memang pernah terpatri dalam memorinya. Kenangan disaat umurnya sembilan tahun, kembali berkelebat.

Saat itu hujan deras. Ia terkurung diluar pagar bersama lukisan-lukisannya yang mulai basah. Wajahnya lebam membiru, habis dipukuli oleh ibunya sendiri. Ia mendekap kedua lututnya, sambil berharap lukisannya tidak basah. Ia ingin menangis, tapi airmata itu sudah kering.

Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan memayunginya. Ya, gadis kecil berjas hujan biru langit. Gadis kecil itu tersenyum, bibir tipisnya yang kemerahan menambah cantiknya wajah putih itu. bidadari menolongku, itu pikirnya saat itu. ia baru pertama kalinya melihat gadis kecil itu. Mungkin gadis itu  masih kelas satu SD saat itu.

“Kenapa abang hujan-hujanan di luar?” tanyanya polos. Ray hanya terdiam, tak sanggup untuk menjawab. Ia mendekat, merogoh saku jasnya yang ternyata berisi sebungkus kue bolu. Tanpa ragu ia memberi Ray kue itu. perut Ray yang merintih tak sanggup menolak.

“Namaku Shafira Afifah. Nama abang siapa? Kenapa abang hujan-hujanan?” bidadari itu memperkenalkan diri. Lagi-lagi Ray hanya diam. Hanya menatap wajah bocah jelita itu. sambil sesekali menyeka air hujan yang membasahi wajahnya.

“Ini apa bang?” tanyanya sambil meraih bungkusan-bungkusan lukisan yang dipegang Ray. Ray membiarkannya gadis kecil itu melihat hasil karyanya. Dibawah payung biru, gadis itu memperhatikan lukisan Ray dengan seksama.

“Waaaah… bagus sekali bang! Abang sendiri yang buat? Abang hebat ya. Aku juga suka ngegambar. Tapi belum sebagus ini. Hehe…”

‘Tes….’ Ada setetes kehangatan yang ia rasakan kala itu. gadis itulah yang pertama kali memuji karyannya. Ray pun menyunggingkan senyumnya.

“Firaaa…. Cepat pulang. Hujan semakin lebat.” Suara seseorang memecah hujan di ujung jalan. Ray melihat seorang ibu muda membawa payung besar. Fira pun bergegas hendak pergi.

“Iya, Maa…. Eh, bang. Ini boleh buat aku? Boleh ya? Boleh dong…” pintanya dengan memohon. Seolah lukisan itu adalah lukisan berharga yang sangat diinginkannya. Ray trenyuh, dan hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Gadis itu memekik girang, dan kemudian berlari menghampiri ibunya. Berlari di tengah hujan. Dan itulah kali terakhirnya Ray melihat ada hati bidadari di seorang perempuan. Ya, dari seorang gadis kecil yang periang itu.

Tiba-tiba saja Ray tersadar. Kenangan itu kini benar-benar kuat dalam ingatannya. Kenapa ia sampai lupa dengan kebaikan bidadari kecilnya itu? dan mencap perempuan sebagai iblis. Hati Ray tergugu, ia merasakan kerinduan yang mendalam secara tiba-tiba.

“Satu hal yang aku herankan dari Fira itu Ray. Sampai sekarang ia masih sendiri. Setiap istriku ingin memperkenalkan seseorang padanya, ia menolak halus. Katanya, ia masih menunggu seseorang. Ya, seseorang yang membuatnya terjun dalam dunia seni, katanya. Entah siapa itu. kalau aku bertemu dengan lelaki itu, aku akan menghajarnya. Teganya dia membuat gadis sejelita Fira menunggu terlalu lama. Hehe…” jelas Andrea dengan nada bercanda. Tapi penjelasan itu seolah-olah menohok hati Ray.

“Beri aku alamat rumahnya, Dre!” pintanya.

“Eh? Kenapa?” Andrea bingung.

“Aku. ya, mungkin aku lelaki itu dre… tolong, beri aku alamatnya!” desak Ray lagi. Andrea terbelalak. Dan tanpa ragu memberikan alamat Fira pada Ray. Ray kembali melesat dengan mobilnya. Ia berpacu dengan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.

Ray membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rindu yang ia rasakan membuncah-buncah. Dalam waktu sekejap ia dibuat kembali normal oleh seorang gadis. Ya! Bahkan Ray seolah terlupa dengan kebusukannya selama ini. Kebusukannya sebagai seorang Gay. Tanpa sadar, ia tidak melihat ada motor yang menyalipnya dari sisi kiri. Ray terkejut, dan membanting setirnya kearah kanan. Naas, sebuah truk menantinya di sisi kanan. Dan kecelakaan itu terjadi tanpa terelakkan.

Mata Ray buram. Lama kelamaan pandangannya semakin samar. Terdengar suara orang yang berteriak panik.  Kenangan-kenangannya membayang di pelupuk mata. Saat-saat ia kotor menjadi gay, wajah Rian yang tegas meminta putus, luka-luka cambukan yang menganga, terik matahari yang panas, wajah mungil berbibir tipis kemerahan, dan tawa seorang bidadari kecilnya. Semuanya berputar tak beraturan dalam kepalanya. Terngiang pula kata-kata teduh Rian dalam mimpinya…“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Tuhan menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…”

“Tuhan, ampuni aku… aku ingin kembali… Aku mencintainya…” lirih Ray terisak.
Dan seketika, semuanya terasa gelap bagi Ray. Senja yang indah keemasan, tersenyum, menemaninya dikala terakhir. Telah lama ia dirindukan…
Read More »»

puisinya pak kahlil gibran

CINTA yang AGUNG
Adalah ketika kamu menitikkan air mata
dan MASIH peduli terhadapnya..
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIH
menunggunya dengan setia..
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku
turut berbahagia untukmu’
Apabila cinta tidak berhasil…BEBASKAN dirimu…
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya
dan terbang ke alam bebas LAGI ..
Ingatlah…bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan
kehilangannya..
tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu mati
bersamanya…
Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu
menang..MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika
mereka jatuh.
Read More »»

"The Call"

(regina spektor)

It started out as a feeling
Which then grew into hope
Which then turned into a quiet thought
Which then turned into a quiet word
And then that word grew louder and louder
Till it was a battle cry
I’ll come back when you call me
No need to say goodbye


 Just because everything’s changing
Doesn’t mean it’s never been this way before
All you can do is try to know who your friends are
As you head off to war
Pick a star on the dark horizon and follow the light
You’ll come back when it’s over
No need to say goodbye
You’ll come back when it’s over
No need to say goodbye


Now we’re back to the beginning
It’s just a feeling and no one knows yet
But just because they can’t feel it, too
Doesn’t means that you have to forget
Let your memories grow stronger and stronger
Till they’re before your eyes
You’ll come back when they call you
No need to say goodbye
 

You’ll come back when they call you
No need to say goodbye


*lagu ini bikin hati adem.. :) Read More »»

Seorang Buruh

(dari buku : Chicken soup for the soul)

Aku bukanlah orang yang suka menguping percakapan orang lain. Tapi pada suatu malam, sewaktu aku melintasi halaman rumah kami, aku ternyata melakukannya. Istriku sedang berbicara pada anak bungsu kami selagi ia duduk di lantai dapur. Jadi aku berhenti untuk mendengarkan di luar pintu belakang.
Sepertinya ia mendengar beberapa anak menyobongkan pekerjaan ayah mereka. Bahwa semuanya para eksekutif hebat… lalu mereka bertanya pada Bob, anak kami,

“Papamu memilki karier bagus macam apa?” mulailah mereka bertanya.
Bob bergumam perlahan sambil memalingkan muka, “Ia hanya seorang buruh.”
Istriku yang baik menunggu sampai mereka semua pergi, lalu memanggil masuk putra kami. Katanya, “Mama ingin bicara sama kamu, Nak.” Seraya mencium pipinya yang berlesung pipit.

“Kamu bilang, papamu hanya seorang buruh, dan apa yang kamu katakan itu betul. Tapi mama ragu, apakah kamu tahu apa arti sebenarnya, jadi mama akan menjelaskan padamu.”

“Dalam seluruh industri yang membuat negri kita hebat, dalam semua toko dan warung dan truk yang menarik muatan setiap hari…
Setiap kali kamu melihat rumah baru di bangun, ingatlah, anakku. Diperlukan seorang buruh biasa untuk mengerjakan pekerjaan besar itu!”

“Memang benar para ekslusif hebat punya meja bagus dan selalu rapi sepanjang hari. Mereka merencanakan proyek besar untuk diselesaikan… dan mengirim memo untuk disampaikan. Tapi untuk mengubah impian mereka menjadi kenyataan, ingatlah ini, anakku. Perlu seorang buruh biasa untuk menyelesaikan pekerjaan besar itu!”

“Kalau semua bos meninggalkan meja mereka dan libur selama setahun. Roda industri masih bisa berjalan, berputar dengan cepat. Jika orang seperti papamu berhenti bekerja, industri itu tak bisa berjalan. Perlu seorang buruh biasa untuk menyelesaikan pekerjaan besar itu!”

Aku menelan air mata dan berdehem saat memasuki pintu. Mata putra kecilku berbinar gembira saat ia melompat dari lantai. Ia memelukku sambil berkata, “Hai, Pa, aku bangga jadi anak papa…
Karena papa adalah satu dari orang-orang istimewa yang menyelesaikan pekerjaan besar.”

Ed Peterman
Read More »»

Istighfar Kita Masih Butuh Istighfar

Seorang yang shaleh pernah berkata : “Istighfar kita ini masih memerlukan istighfar”. Maksudnya, apabila seseorang mengucapkan istighfar, namun dia tidak meninggalkan maksiat yang diperbuatnya, maka istighfarnya itu masih butuh istighfar.

Sering kita temui, orang berisitghfar hanya dengan lisan mereka saja. Tidak disertai dengan kesungguhan hatinya. Mereka mengucapkan lafadz “Astaghfirullah” namun ucapan tersebut tidak mempengaruhi akhlaknya. Masih dan tetap saja melakukan maksiat tersebut. Dan sadarilah, bahkan terkadang kitapun termasuk kedalamnya…
*Astaghfirullah… >_<


Memang tak ada manusia yang tak pernah khilaf. Tidak ada manusia yang catatan amalnya benar2 bersih dari perbuatan dosa. Hal itu terjadi karena terkadang manusia kalah melawan musuh2nya. Ada banyak hal di dunia ini yang menjadi musuh sebenarnya bagi manusia. Diantaranya adalah nafsunya yang mendorongnya untuk melakukan maksiat dan menjauh dari jalan Allah. Musuhnya yang lain adalah setan, musuh yang tak akan pernah bisa membiarkan manusia melakukan amalan2 ibadah. Musuh yang akan selalu menggoda manusia sampai ajal dunia menjelang. Selain itu, musuh manusia pun bisa berupa keinginan2 yang menjauhkan diri dari jalan Allah. Dan masih ada dunia dan isinya yang seringkali menjerumuskan manusia dalam kebinasaan. Dan masih banyak lagi, yang kesemua itu harus kita perangi.

Dalam hadist, Rasulullah saw. Bersabda :

“Setiap manusia pasti banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah orang-orang yang bertaubat.”

Pada hakikatnya, istighfar itu merupakan salah satu nikmat yang besar yang Allah berikan kepada orang2 beriman. Karena hanya dengan mengucapkan istighfar, dan disertai hati yang bersungguh2, dosa2 yang kita lakukan akan terhapus. Orang2 beriman mendapatkan keistimewaan dengan istighfar ini, karena hanya orang beriman sajalah yang boleh mengucapkannya. Namun seiring dengan pertambahan usia bumi, makna istighfar kini hanya menjadi ucapan di lisan belaka.

Fudhoil bin ‘Iyadh berkata, “Istighfar yang tidak disertai dengan berhenti dari dosa, adalah taubatnya para pembohong.”

Untuk itulah, kita yang dianugrahkan Allah menjadi orang2 yang beriman kepadaNya, harus benar2 mengistighfarkan diri dengan istighfarnya orang2 yang beriman. Bukan sekedar di lisan, namun juga hati kita. Dimana disaat beristighfar, kita mengucapkannya dengan niat betul2 untuk bertaubat. Sehingga kita benar2 mendapatkan ampunan dariNya.

Ada banyak waktu yang dianjurkan untuk kita beristighfar. Diantaranya adalah :
  • Setelah melaksanakan ibadah.
Saat shalat, terkadang kita melakukan kesalahan yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Untuk itulah kita beristighfar. Nabi Muhammad saw, sesudah salam dari shalat wajib, biasanya beristighfar tiga kali.
  • Di waktu sahur.
Allah berfirman : “(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Qs. Ali ‘imran :17)
  • Ketika menutup majelis.
Dalam bermajelis, tidak jarang kita melakukan kesalahan. Baik itu pada diri sendiri maupun terhadap orang lain. Karena itulah, ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk beristighfar. Karena Allah maha mengetahui apa yang kita lakukan dalam majelis, namun kita tak menyadarinya.
  • Istighfar untuk orang2 yang meninggal.
Nabi Muhammad saw, apabila selesai menguburkan mayat, beliau bersabda :
“Beristighfarlah kalian untuk saudara kalian dan mohonkanlah keteguhan untuknya, sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.”

Saat ditanyai dalam kubur, seorang mayit sangat membutuhkan istighfar dari saudara2nya untuk meringankan bebannya dan agar mendapatkan ampunan dari Allah.

Ada empat hukum yang berkaitan dengan istighfar, yaitu :
  • Mundub/sunnah. Dimana istighafr ini dilakukan bukan hanya apabila melakukan maksiat. Tapi bisa disetiap saat. Bisa dilakukan untuk diri sendiri, orangtua, saudara, anak atau istri. Seperti firman Allah dalam surat al-muzzammil ayat 20 : “…dan mohon ampunlah kepada Allah. Sungguh Allah Maha pengampun dan Maha penyayang.”
  • Wajib. Istighfar menjadi wajib hukumnya bagi orang2 mukmin yang telah melakukan dosa. Dosa sekecil apapun, akan dicatat oleh malaikat dalam catatan amal kita. Karena itu, kita diwajibkan untuk bersegera beristighfar setelah melakukan dosa. Agar kita mendapat ampunanNya, dan dosa dalam catatan amal kita dihapuskan.
  • Makruh. Seperti beristighfar dibelakang jenazah. Hal ini dimakruhkan karena rasulullah tidak pernah melakukan ini. Yang dianjurkan adalah beristighfar untuk jenazah saat menshalatkannya dan memakamkannya.
  • Haram, apabila seorang mu’min beristighfar untuk orang yang kafir. Seperti Rasulullah yang diharamkan untuk memohonkan ampunan bagi paman beliau. Seperti yang difirmankan Allah :
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang2 fasik.” (Qs. Al-Munafiqun : 6)

Buah dari istighfar…
Allah menjanjikan buah yang manis dari istighfar yang kita tanam. Ada banyak bentuk dan macamnya manfaat istighfar yang dapat kita rasakan dalam keseharian. Diantaranya yaitu :
  • Allah mengampuni dosa2 orang yang memohon ampun kepadanya. Hal ini tercantum dalam firmannya:
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatn dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Penganmpun lagi Maha Penyayang.” (An-nisa’ : 110)
  • Salah satu faktor pembawa rezeki. Rasulullah saw. Pernah bersabda dalam hadistnya :
Brangsiapa yang banyak beristighfar, niscaya Allah memberikan kelapangan baginya dari setiap kecemasan, jalan keluar dari setiap kesempitan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”
Di dalam hadist ini Rasulullah mengatakan bahwa salah satu buah dari istighfar itu adalah rezeki dari Allah. Rezeki yang arahnya tidak pernah disangka-sangka dan tidak pernah terpikirkan dalam pikiran manusia. Untuk itu, ketika kita ingin mendapat kelapangan rezeki dan berkahnya, perbanyaklah istighfar. Tentu saja, istighfar yang sebenar-benarnya isitighfar.
  • Jalan menuju ke surga.
Dengan di ampuninya dosa2, maka pintu menuju surga akan terbuka. Kita akan diperbolehkan untuk memasuki surgaNya dengan beristighfar. Asalkan seumur hidup kita tetap menjadi orang yang beriman.
  • Sarana memperoleh kesehatan dan kekuatan.
“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, mohonkanlah ampun kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepadaNya. Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Al-Hud : 52)
  • Sarana memperoleh kebersihan hati.
Satu dosa akan menorehkan satu noda di dalam hati kita. Karena tiu, dengan beristighfar, noda2 tersebut akan terhapus dan hati kita kembali bersih.
  • Mencegah terjadinya adzab.
Seperti yang dikatakan oleh Hasan Basri, “Wahai manusia, meninggalkan dosa itu lebih mudah bagimu daripada bertaubat.” Istighfar merupakan sarana bagi kita untuk mencegah adzabNya. Seperti yang di firmankan oleh Allah :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah(pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal : 33)
  • Meningkatkan derajat setelah mati.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda…
“Sungguh Allah akan mengangkat derajat seorang hamba di surga. Maka, kelak ia akan bertanya. ‘Ya Rabbi, mengapa saya meraih derajat seperti ini?’ Allah menjawab, ‘Karena istighfar yang dipanjatkan anakmu untukmu!” (diriwayatkan oleh Abu Hurairoh).

Karena itulah, kita sebagai seorang anak harus memperbanyak doa untuk orangtua kita. Agar beliau mendapatkan tingkat derajat yang lebih tinggi di sisi Allah, dan mendapatkan kelapangan. Sehingga, seperti itu pula lah anak kita kelak.

Dan masih banyak lagi buah yang bisa kita petik dari istighfar. Yang masing-masing orang akan berbeda buahnya.
Wahai saudara-saudariku… mari kita bersama memperbaiki istighfar kita. Agar istighfar itu bukan hanya menjadi pembasah lidah. Tetapi juga sebagai cahaya kita di surga kelak… amiin…  :)

Read More »»

keimanan -haris isa-

Andai matahari di tangan kananku
takkan mampu mengubah yakinku
terpatri dan takkan terbeli dalam lubuk hati


Bilakah rembulan di tangan kiriku
takkan sanggup mengganti imanku
jiwa dan raga ini apapun adanya


Andaikan seribu siksaan
terus melambai-lambaikan derita yang mendalam
seujung rambut pun, aku takkan bimbang
jalan ini yang kutempuh


Bilakah ajal kan menjelang
jemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatan
cintaku hanyalah untuk-Mu
tetapkan muslimku selalu
Read More »»

Sepotong Episode

Sepotong Episode (masa lalu)

Album : Sepotong Episode
Munsyid : Edcoustic

sebuah kisah masa lalu hadir di benakku
saat kulihat surau itu
menyibak lembaran masa yang indah
bersama sahabatku

reff:
sepotong episode masa lalu aku
episode sejarah yang membuatku kini
merasakan bahagia dalam diin-Mu
merubah arahan langkah di hidupku

setiap sudut surau itu menyimpan kisah
kadang kurindu cerita yang
tak pernah hilang kenangan
bersama mencari cahayaMu

*tiap denger nasyid ini… jadi kangen ama temen2 di piar dulu…
asramaku tercinta… :)
Read More »»

Ramadhan dan Agustus

Kicauan burung menghiasi pagi ini. Gemercik air sungai, menambah syahdunya alam. Angin sejuk sepoi-sepoi menghembus, terdengar dedaunan yang saling bergesek. Senandung alam yang merdu. Damai, tentram. Luntur sudah semua kepenatan hidup. Terlupakan sejenak, dengan rasa damai yang menjalar keseluruh pori-pori tubuh. Seseorang memejamkan matanya, sambil merentangkan tangan berdiri diatas sebuah batu di sungai. Menghirup udara yang segar, sambil tersenyum.

“Pagi yang indah ya, Ram…” ujarnya pada seorang temannya yang terduduk di tepi sungai, tak jauh dari tempatnya berdiri. Kini ia menurunkan kakinya setengah betis ke dalam sungai. Air yang segar mengejutkan seluruh sel-sel syaraf dalam otaknya.

“Ya, tapi tidak bagiku Gus…” tanggap Ramadhan, sambil menghela nafas panjang, serasa ingin melepas semua beban yang memberatkan hatinya, menganggu pikirannya. Agustus mendelik heran.


“Apa yang membebanimu, sobat?” Tanya agustus pada sahabatnya itu. Ramadhan hanya mendesah pelan. Ia pun akhirnya menghampiri Ramadhan, duduk di batu yang lebih dekat dengannya.

“Ceritalah… mungkin aku bisa membantu?” Tanya agustus sekali lagi.

“Aku yakin kau tidak bisa membantuku, Gus…” Ramadhan memperhatikan riak-riak sungai dengan tatapan kosong.

“Hmm, setidaknya dengan bercerita akan mengurangi bebanmu. Ceritalah…” bujuk Agustus lagi.

“Hufft. Aku takut Gus. Aku takut kalau-kalau laporanku tahun ini mengecewakan lagi.” Agustus mengerutkan kening.

“Laporan?”

“Ya… Laporanku. Kau enak, Gus… setidaknya laporanmu tidak mengecewakan seperti laporanku.” Ramadhan berdiri, menginjakkan kakinya di sungai. Ia pun mencari batu yang nyaman untuk diduduki.

“Apa yang membuat laporanmu mengecewakan? Memangnya laporanmu tahun lalu mengecewakan?” Tanya Agustus lagi.

“Ya, sangat. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali laporanku tidak mengecewakan…” Agustus hanya diam, menunggu tiap kata dari sahabatnya itu.

“Kau pasti tau kan, banyak manusia yang tercatat beribadah dalam laporanmu tahun lalu?”

“Ya, banyak sekali. Bahkan hampir semua manusia yang mengikuti agama kita tercatat beribadah dalam laporanku. Hal itu membuatku senang.” Jawab Agustus sembari tersenyum, mengingat laporannya tahun lalu.

“Tapi tidak dalam laporanku… nyaris kosong, Gus. Ya.. Nyaris kosong. Bahkan banyak manusia yang melakukan maksiat yang tercatat dalam laporanku tiap tahunnya.” Ramadhan tertunduk dalam, hal ini benar-benar membuat hatinya perih.

“Hmm? Apa maksudmu? Bukankah dalam laporanmu banyak orang yang berpuasa? Seharusnya itu nilai plus bukan? Seperti laporanku…”

“Ya, mereka semua berpuasa. Tapi puasa tinggallah sekedar puasa bagi mereka. Setelah bulan puasa berlalu, apa yang berubah dari mereka, Gus? Apa? Nihil. Nyaris semuanya sia-sia.” Agustus tertegun.

“Kenapa begitu?”

“Mereka puasa bukan karena ikhlas Gus… bukan karena Allah. Banyak di antara mereka menjadikan puasa hanya sebagai rutinitas setiap tahunnya, tanpa hati. Mereka puasa, tetapi hati mereka tidak dipuasakan. Mereka berlapar-lapar dahaga, tetapi nafsu mereka kenyang-kenyangkan!”

“Puasa bagi mereka hanya sebagai identitas. Identitas?? Ya, hanya identitas belaka, Gus… Hanya sebagai bukti kalau agama islam dalam KTP mereka itu benar…”
Agustus masih menatap Ramadhan dengan tatapan heran. Masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan sahabatnya.

“Bukankah mereka semua melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya, Ram? Dalam laporanku, sungguh ramai mesjid-mesjid dengan manusia pada malam hari. Karena bertepatan pula dengan jadwal kerjamu.”
Ramadhan menatap Agustus dengan sendu.

“Ya, Gus… memang benar mereka shalat tarawih, memang benar mereka meramaikan mesjid. Tetapi banyak hati mereka yang salah niat. Mereka jadikan ajang memamerkan diri! Agar terlihat oleh tetangga mereka kalau mereka itu rajin ibadah… taat agama. Mereka shalat, tetapi dengan hati yang sombong. Ada pula yang menjadikan shalat tarawih itu hanya sebagai kewajiban. Ya, kewajiban semata! Bukan karena mereka butuh akan shalat itu sendiri.”

“Khususnya anak-anak remaja, Gus… sungguh perih hati ini melihat mereka yang menodai mesjid. mereka pergi ke mesjid, tetapi bukan untuk tarawih, bukan untuk meramaikan mesjid dengan semestinya. Mereka malah menjadikan mesjid itu untuk tempat mereka berkumpul-kumpul dengan temannya. Atau hanya sebagai alasan mengambil absen ke mesjid. Kau tahu bukan, dalam bulanku ini anak-anak remaja mengikuti pesantren ramadhan, yang mewajibkan mereka untuk tarawih di mesjid?”

“Ya, Ram… itu tercatat dalam laporanku tahun lalu…”

“Hanya karena itulah mereka melakukan shalat itu, Gus… bagaimana aku tidak sedih??” nyaris saja Ramadhan tidak bisa menahan air matanya. Dadanya sudah terasa sangat sesak.

“Lalu, bagaimana dengan infak dan sedekah mereka selama itu, Ram? Bukankah mereka bersedekah?” Tanya agus lagi dengan hati-hati. Kini ia mulai mengerti, dan mulai bisa merasakan apa yang melanda hati sahabatnya itu.

“Sama saja! Sama saja, Gus… ajang menyombongkan diri. Atau ajang sekedar asal-sudah-berinfak saja. Banyak sekali yang justru bukan karena ikhlas. Aku tidak mengerti Gus, kenapa dengan manusia sekarang??”
Agus hanya terdiam. Ia benar-benar tidak tahu semua tentang itu. Yang ia tahu, dan yang ia catat dalam laporannya hanyalah apa yang tampak olehnya secara kasat mata.

“Jangan pula kau tanyakan tentang ibadah-ibadah lainnya, Gus… jangan! Karena semuanya sama saja. NIHIL. Semua yang mereka lakukan itu tidak mengubah apapun. Tidak mempengaruhi mereka sedikitpun. Setelah berpisah mereka dengan bulanku, mereka kembali seperti semula. Kembali jahili! Bukannya kembali menjadi fitri kembali…”

“Itu semua karena mereka sudah kehilangan iman, Gus…. Mereka tidak menyadari ada kekuasaan di atas sana yang selalu mengawasi mereka. hiks” Kali ini hancur sudah pertahanan Ramadhan. Buliran-buliran air hangat menganak sungai di pipinya. Agus hanya bisa menepuk-nepuk pundak Ramadhan dengan lembut. Pikirannya ikut berkecamuk. Tidak menyangka dengan ini semua.

“Mereka tidak tahu, Gus… atau mereka sengaja membutakan mata hati mereka. Mereka tidak peduli akan mulianya bulanku, gus… betapa Rabb kita sudah banyak menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda untuk mereka… tetapi mereka tidak peduli.”

“Mereka isi bulanku dengan kesia-siaan. Dengan maksiat! Mereka menodai bulanku dengan tanpa rasa bersalah, Gus… hiks.”
Untuk beberapa saat mereka saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara riak-riak sungai yang memecah keheningan diantara mereka. Angin memang sepoi-sepoi bertiup, tetapi badai sedang melanda hati mereka berdua.

“Aku benar-benar tidak tahu akan itu, Ram…” Agustus kembali membuka suara. Ramadhan terdiam sejenak, lau menghela nafas…

“Ya, Gus… kau memang tidak tahu. Kita membuat laporan dengan pengamatan yang berbeda bukan? Laporanmu kelaklah yang nantinya akan membuktikan kemunafikan mereka itu, Gus…”

“Jadi, laporanmu yang tahun lalu-kah yang membuatmu merasa terbebani seperti ini?” Tanya Agustus lagi.

“Hmmhh… bukan, Gus. Justru laporanku selanjutnya. Aku takut akan mengecewakanku kembali. Aku takut mereka justru menambah noda dalam laporanku ini. Aku sedih…”
Agustus terdiam lagi.

“Akh, tetapi ada diantara mereka yang membuatku terhibur, gus.” Ujar Ramadhan lagi, wajahnya terlihat lebih cerah. Tanpa Agustus bertanya ‘siapa mereka’ pun, Ramadhan kembali bercerita.

“Mereka yang berpuasa karena memang hatinya yang menginginkannya gus, mereka yang ikhlas sepenuh hati mengisi kebaikan-kebaikan dalam bulanku. Beribadah karena Rabb mereka. Mereka yang merindukanku selama sebelas bulan sebelum bulanku datang. Mereka yang benar-benar mempuasakan hati dan nafsunya. Ya, mereka… walau mereka hanya sedikit Gus, tapi mereka bisa menghiburku. Cukup mengobati hatiku.” Ramadhan tersenyum.

“Semoga mereka yang menyenangkan hatimu itu, jumlahnya semakin bertambah kali ini, Ram…” tanggap Agustus lagi.

“Ya, semoga Gus… dan kuharap laporanku selanjutnya tidak mengecewakanku lagi. Walau… ahh, tidak mungkin rasanya. Manusia sekarang sudah benar-benr berbeda Gus. Sudah banyak yang melupakan Rabbnya…” balas Ramadhan lagi.

Beberapa ekor burung terbang rendah, nyaris menyentuh air sungai. Kicauan merdunya menentramkan hati. Benarlah kata Agustus, dengan bercerita, bisa untuk mengurangi beban di hati Ramadhan. Walau begitu, Ramadhan tidak bisa menghilangkan resah di hatinya. Ia benar-benar takut dan sedih. Percakapan itupun berlanjut. Banyak hal yang mereka bicarakan. Tanpa terasa, matahari pun sudah meninggi…
Read More »»

Jalan Kenangan




Jalan-jalan itu kembali membuka memoar lama,
Mengembalikanku ke masa lampau,
Masa-masa dimana aku bermetamorfosis menjadi diriku kini,
Menyiratkan kerinduan yang dalam,
Yang terpatri di kalbuku…


Teringat semua hal lalu yang telah lama kulewati,
Terbayang wajah-wajah sahabat yang lama tak bersua,
Terbayang wajah-wajah teduh sang guru,
terbayang…. Setiap sudut kenangan di sana…

Senyum guru yang bagai embun di hati yang gersang,
Tawa sahabat yang bagai pelipur setiap lara,
Inginku, kembali ke masa itu.
Kicauan burung pagi, suara riakan sungai…

Angin siang semilir, menjadi alunan musik tarian pepohonan,
Silau keemasan setiap senja menyingsing,
Dan saat gelap… beribu-ribu bintang terhampar,
Fenomena yang ganjil di tempatku kini.
Bak surga sebelum surga,
Bersama jiwa-jiwa yang rindu dengan tuhannya.




Jalan-jalan kenangan,
Yang tak akan hilang dalam memori,
Cerita tentang titik balik terbesar dalam hidupku,
Yang akan selalu tersimpan di hati.

Padang, 30 Desember 2009.
Read More »»

Jadilah Generasi Ghuraba’

Ada yang udah tau apa artinya ghuraba’ belum?
Hmm… zhr sendiri ga tau pasti sih, apa arti kata ini secara istilah. Tapi dalam bahasa, kata ghuraba’ bisa berarti asing. Atau mungkin bisa juga di sebut aneh. Aneh karena lain daripada yang lain.

Hah? Terus, judul di atas tadi nyuruh kita buat jadi generasi aneh dong? Kok gitu?



Hehe… bukan itu maksudnya. Nih, ada kutipan hadist yang pernah zhr denger:
“Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang yang diasingkan “ (HR. Muslim, At Tirmizi, Ibnu Majah, At Tabarani).
Ehem2. kita coba untuk ngebahas hadist ini lebih serius. :)
Islam bermula dalam keadaan asing…

Kita semua pasti tau, bagaimana panjang dan sulitnya perjuangan nabi Muhammad saw dalam menegakkan agama Allah. Banyak sekali mengalami rintangan dan ujian. Dengan lemah lembutnya beliau berusaha untuk mengajak mereka (kafir Quraisy) ke jalan islam, tapi malah di hadiahi dengan umpatan, makian, air ludah bahkan kotoran unta. Kenapa demikian? Hal itu karena terlalu mendarah dagingnya ajaran nenek moyang kafir Quraisy pada masa itu. Sehingga agama islam terasa amat asing bagi mereka.

Sesuatu yang asing, tentulah tidak mudah untuk cepat di terima. Tubuh kitapun, jika ada benda asing yang masuk, pasti akan memberikan reaksi waspada dan hati-hati terhadap benda asing itu. Begitu pula islam, yang amat teramat asing pada masa-masa itu. Berbeda aturan, berbeda cara, berbeda pandangan dan pikiran, berbeda hukum, bahkan berbeda illah dengan ajaran agama Quraisy waktu itu. Butuh proses panjang dan rencana matang untuk merubah keasingan itu menjadi biasa. Dan seperti yang kita tahu, dakwah rasulullah itu tidak singkat, bahkan bertahun-tahun. Orang akan lebih mudah menerima apa yang memang sudah biasa di lingkungannya.

Jadi,, apa hubungannya dengan sekarang? Kenapa islam dikatakan asing sih?
Hmmhh…. sekarang, mari kita sama2 memperhatikan. Bagaimana kondisi islam saat ini. Naas bukan? Banyak sekali orang yang mengaku dirinya islam, namun bertingkah laku selayaknya bukan islam. Banyak orang yang mengaku bersyahadat, namun kenyataannya sama sekali tidak bertanggung jawab dengan syahadat yang diucapkannya itu. Dan ini terjadi hampir di semua golongan masyarakat. Para pemimpin banyak yang korupsi, para hakim banyak yang tidak adil. Mereka yang merasa memiliki kekuasaan tak pernah berpikir, bahwa harta2 yang mereka nikmati dari hasil korupsi itu adalah tangis darah masyarakat kecil. Rumah mewah mereka bangun, di sisi lain banyak anak tak mampu bersekolah harus mengorbankan cita2nya…

Bagaimana dengan kalangan pelajar??
Ayolah teman2,, kita semua sama2 mengetahui. Bahwa contekan2 kecil saat ujian itu semakin lama akan mendidik kita menjadi koruptor masa depan. Sebagai penerus mereka2 yang memakan harta haram disana. Banggakah kita menjadi penerus mereka??
Betapa batunya hati kita kalau kita berbangga diri akan hal itu.
Begitu banyaknya maksiat yang dilakukan orang2 sekarang. Dan akuilah, kita pun terkadang masuk dalam golongan tersebut. Hal2 yang mendekati zina, bertebaran dimana-mana. Hal2 yang mengumbar aurat banyak sekali kita temukan. List daftar anak2 yang durhaka kepada orang tuanya pun semakin panjang. Para orangtua yang semakin tak peduli akan amanahnya terhadap anak pun tak kalah banyaknya. Sungguh mengenaskan! Betapa rasul kita, Muhammad saw. menangisi kita, takut karena kita tak akan kuat merasakan adzabNya.

Dan lihatlah….
Perempuan2 shalihah yang menjaga auratnya semakin sedikit dibandingkan dengan umat di dunia ini. Para lelaki shaleh, para pengemban amanah sebagai pemimpin yang adil semakin berkurang… mereka yang tetap teguh memegang ajaran agama islam, berusaha menjalankan kewajiban sebagai makhlukNya, bersusah payah menahan diri dari segala yang dilarangNya, lebih sedikit jumlahnya dibanding mereka2 yang tak tahu apa tujuan mereka diciptakan dibumi ini…
Merekalah generasi ghuraba’…

Generasi yang di akhir zaman semakin sedikit jumlahnya. Semakin terasa asing. Semakin di anggap aneh oleh orang2 sekitar. Aneh? Kenapa aneh? Ya…. terkadang orang menganggap aneh kepada perempuan2 yang konsisten dengan jilbabnya, terkadang memandang aneh dengan laki-laki yang menolak bersalaman dengan yang bukan mahramnya, memandang aneh kepada pemimpin yang tak mau menerima uang sogokan. Aneh, karena ajaran2 islam kini semakin asing. Aturan2 islam semakin di tinggalkan.

Aneh, itu kata mereka yang mengaku islam namun tak mengenal agamanya sendiri!

Wahai teman2ku…
Janganlah malu kita menjadi orang2 aneh di hadapan mereka. Janganlah kita enggan mengenalkan jati diri kita sebagai seorang muslim!… jadilah kita generasi ghuraba’…
Generasi yang di anggap asing, karena hidup dengan berjalan sesuai dengan aturanNya.
Generasi yang akan mendapat keberuntungan di akhirat kelak….

Dengan berusaha berjalan lurus mengikuti jalanNya. Berusaha dan selalu berusaha mencari hidayahNya. Bukan dengan menjauh dan semakin meninggalkanNya. Kenalkan pada mereka bagaimana islam itu sebenarnya. Islam itu agama yang suci, dan mereka telah mengotori agamanya sendiri. Mereka? Siapa mereka? Yaitu orang2 yang tak mau mengenal agamanya sendiri, tidak ingin mengenal penciptanya sendiri.
Semoga kita tidak termasuk kedalam golongan2 yang tidak di ridhai oleh Allah…
Amiiin!
Jadilah generasi ghuraba’! :)
Read More »»