Senin, 30 Juli 2012

aku takut

aku takut untuk kembali ke kota itu. aku takut kembali pada kota yang sebenarnya ramah, namun penuh dengan keterasingan. sendiri memijak tanah yang berbeda, sendiri menghirup udara yang tak sama. ya, sendiri walau tak benar-benar sendiri. aku tahu, sebenarnya disana aku punya lebih dari cukup sahabat yang mampu menjadi partnerku. yang mau menerima aku dan duniaku, aku dan lebihku, aku dan cacatku. mereka ada untukku, mau menemaniku melewati waktu yang dingin disana. tapi..

jika teringat pada beberapa orang itu..

aku kembali merasa sendiri. terkukung masa lalu yang terus berdenyut tak terlupakan. terancam masa depan yang tak pasti. mereka, beberapa orang itu, yang jika aku ingat namanya hatiku kembali merasa ciut. membuat semangat berkobar yang kugenggam mendadak padam. melumat semua ke-percayadiri-an yang susah payah aku bangun. mereka dengan perannya masing-masing. kadang aku berpikir, seandainya aku tak pernah mengenal nama-nama itu..

khusus untuk seseorang. ingin sekali rasanya aku mengucap terima kasih. karena telah berhasil membuat aku merasa tak punya apa-apa yang patut untuk dibanggakan. berhasil mengkerdilkan aku diantara orang-orang hebat yang sering ia sebut-sebut. seolah hanya cacatku yang tak bisa ia terima itu sajalah yang terlihat. selalu membandingkan aku dengan orang-orang yang pandai sekali memainkan topeng itu. topeng yang ia bilang, mampu membuat orang biasa menjadi terkenal. cih. aku benci dibanding-bandingkan! telingaku sudah terlalu panas mendengar semua omong kosongnya. biarlah aku tak masuk dalam dunia gemerlap yang seringkali ia bangga-banggakan itu.

aku merasa nyaman disini. bertemu sahabat-sahabat yang sudah layaknya saudara bagiku. mereka yang sama sekali tak pernah membuatku minder dengan segala keterbatasanku. justru membuatku tak sungkan untuk menjadi apa adanya. mereka yang bisa membuatku kuat menghadapi 'beberapa orang' itu..

huufh.. jika memang aku harus kembali.. sampai disana mungkin aku akan bergegas mencari tempat bersembunyi. tempat yang tak akan tersentuh oleh mereka. sembunyi sendirian menyelamatkan dunia kecilku. melindungi kobaran semangatku agar tetap bertahan. aku takut diriku akan mati dan berubah menjadi orang lain jika terus berada di dekat mereka. sebisa mungkin, rasanya aku ingin menghilang dari pandangan mereka..

#andai aku bisa mengajakmu pergi bersama, menjadi kuat bersama, menghadapi hari yang sama. kau seperti tongkat yang kokoh untuk kakiku yang rapuh. sandaran hangat untuk pundakku yang menggigil. denganmu, sahabat, mungkin aku tak akan lagi takut bertemu orang-orang itu.. yah.. andai saja..

Read More »»

Senin, 16 Juli 2012

Belajar dari kakek-kakek..


Aku memantapkan langkah, menginjakkan kaki di lantai rumah sakit yang selalu dingin. Sudah beberapa bulan aku membolos untuk hadir di sini. Aku jadi canggung dan sedikit pangling dengan kondisi rumah sakit yang sedikit berbeda. Oh, tempat pendaftaran pasien ternyata sudah berubah. Sudah dipindahkan ke gedung baru, yang beberapa bulan lalu kulihat masih berupa bangunan setengah rampung.

Aku mengambil nomor antrian, dibantu oleh seorang satpam yang selalu siaga berdiri di samping alat pencetak nomor antrian itu. Angka 166 tercetak di kertas yang kini aku genggam. Aku melangkah lagi mencari tempat duduk, di ruang tunggu khusus pasien askes. Sulit menemukan kursi kosong. Pasien hari ini begitu banyak ternyata. Terlihat lebih ramai dari biasanya, beberapa bulan yang lalu. Satu kursi kosong tertangkap oleh mataku, di sebelah seorang kakek-kakek yang begitu renta.. seorang kakek yang hari ini memberiku pelajaran yang cukup berharga bagiku.

Aku duduk, setelah mengangguk sopan tanda minta ijin pada sang kakek itu. kakek itu-pun tersenyum memperlihatkan gigi-gigi ompongnya. Aku duduk dengan tenang, masih dengan canggungku. Tiba-tiba saja kakek itu menyapaku, dan bertanya :

“Siapa yang sakit?”

Aku menoleh dengan sedikit gugup. Ah! Rumah sakit ini membuatku kikuk.

“Saya, kek..” aku menyunggingkan senyum. senyum tulus tentunya. Dan kakek itupun bertanya lagi,

“Sakit apa emangnya?” hm. Pertanyaan ini sudah dapat ku tebak pasti akan ditanyakan orang. Dengan ragu aku menjawab..

“Jantung, kek..” kulihat muka kakek itu berubah, rasa terkejut terbaca di wajahnya. Menyiratkan keheranannya, kenapa bisa anak muda sepertiku punya penyakit seperti itu?

“Kalau kakek sakit apa?” 

saat aku tanya begitu, saat itu pula kakek menjelaskan segala macam penyakit yang ia punya dengan panjang lebar. Komplikasi. Beberapa organ dalam tubuhnya memiliki masalah yang serius. ‘yah, beginilah kalau sudah tua..’ ujar sang kakek dengan tawanya saat aku mengeluarkan ekspresi takut. Takut membayangkan betapa sakitnya kakek itu selama ini..

Kakek bilang, nama penyakit yang ia idap adalah SARJANA GILA. Aku mengernyitkan dahi. Hm? Penyakit macam apa itu? rupanya.. itu adalah singkatan dari berbagai macam penyakit yang kakek punya. SAraf, JAntung, perNApasan, GInjal, dan guLA. Oalaaah.. bisa saja si kakek ini. kakek tertawa saat aku tertawa mendengarkan penjelasan dari singkatan aneh yang beliau buat itu. tapi tetap saja, dalam tawaku aku menyimpan rasa ngeri. Bagaimana kakek ini bisa melewati hari tuanya dengan penyakit sebanyak itu? dan aku yakin, tidak hanya kakek ini saja. Tapi juga kakek-kakek yang duduk disebelah kakek ini. Atau kakek yang duduk paling depan itu, yang begitu terlihat bungkuk dan renta. Atau juga nenek-nenek tua yang terduduk lemas di atas kursi roda itu. semuanya pasti punya penyakit yang lebih dari satu. Hmmhh.. aku seperti diingatkan mereka. “Sesukses apapun masa mudamu, kelak saat tua kau juga akan seperti ini. jadi, apa yang sebenarnya patut kau sombongkan??”

Kembali ke kakek dengan penyakit sarjana gila-nya tadi. Pembicaraan kami tak berhenti hanya dengan membahas penyakit masing-masing yang kami miliki. Kakek itu bercerita banyak hal, bertanya berbagai macam pertanyaan. Mengajari ini itu, menceritakan masa mudanya dulu. Aku seperti tenggelam ke masa lalu, seolah menyaksikan sendiri perjalanan hidup dari kakek ini, walau hanya segelintir saja yang beliau ceritakan.
Sedang asyik-asyiknya bercerita, rupanya nama kakek disebut oleh bapak-bapak loket pengurus pendaftaran itu. yah, cerita terputus. Sang kakek pamit duluan menuju loket askes, dan lanjut ke poliklinik tempat ia akan kontrol penyakitnya itu.. aku kembali termenung sendirian, nomorku masih lama untuk dipanggil. Sambil menunggu.. tiba-tiba saja seorang kakek-kakek lain yang duduk di sebelah kakek tadi menyapaku. Sepeti kakek sebelumnya, menanyakan perihal sakitku, dan lagi, kembali kulihat raut keheranan di wajah beliau.

Kakek yang satu ini tak jauh beda juga dengan kakek sebelumnya. Ia harus operasi jantung, kontrol paru-paru dan lambungnya. Haduuuh.. aku ngeri sendiri memikirkan tentang semua penyakit yang diidap pasien-pasien disini. ternyata penyakitku masih belum seberapa.

Kakek yang ini juga senang bercerita rupanya. Bahkan lebih heboh dari kakek pertama tadi. Saat kakek ini mengetahui kota asalku, Kota Padang, kakek langsung berseru,

“Wah! Saya dulu pernah di sana. Di Tabing, tau kan? Walaah.. dulu di sana masih banyak sekali hutan, apalagi hutan gambut.” Cerita kakek. Aku jadi bersemangat mendengarkan karena ternyata kakek juga pernah ke kota asalku.

“Tapi pastinya dulu mbak belum ada disana. Tahun ’57 saya disana dulu..” weleeh, ya iyalah kek. Tahun segitu bahkan orangtua-ku belum lahir >.<

Ternyata kakek ini dulu seorang tentara. Yang sempat dinas beberapa waktu di Kota Padang. Sudah melewati berbagai peperangan dan pemberontakan yang panas di masa-masa lampau itu. hiiih.. padahal aku sudah ngeri dengan penyakit beliau, kini aku merasa lebih ngeri lagi mendengarkan cerita-cerita beliau di masa peperangan. Aku jadi teringat dengan almarhum kakekku sendiri.. yang juga tentara. Tapi sayangnya, beliau sudah tiada saat ayahku masih kuliah di tahun kedua. Jadi aku tak sempat menjadi cucunya secara nyata dan mendengarkan kisah-kisah peperangannya.

Kakek tadi bercerita kalau dulu ia pernah tertembak di bagian bahu kirinya. Dan nyaris mati tertembak musuh jika teman seperjuangannya tidak menendangnya. Kakek menceritakan huru-hara yang terjadi di tahun 50-an itu. mendengar cerita kakek, aku seperti menonton film peperangan yang biasanya ada di tv. Semua yang kakek ceritakan terbayang dalam imajinasiku. Ternyata ini untungnya menjadi orang yang berimajinasi tinggi (katanya). Semua cerita bisa segera di visualisasikan. Hehe

Hal yang menarik bagiku, adalah melihat riangnya kakek ini. dari gelak tawanya, dari selera humornya yang beberapa kali membuatku menutup mulut karena malu kalau terbahak-bahak di tempat umum (malu lah broo.. kita kan harus jaga imej! #abaikan). Padahal kakek ini memiliki penyakit yang berat, dan sebentar lagi harus menghadapi operasi berat. Istri beliau pun kini sedang berada dalam perawatan pasca operasi pencernaan di rumah sakit lain. Itulah kenapa sang kakek ini tak ada yang menemani berobat di rumah sakit. Dengan penyakit sedemikian rupa, kakek masih bisa menceritakannya dengan begitu ringan. Tanpa mengeluh, terlihat dengan keikhlasan yang penuh. Kakek bilang,

“Yah, kita dikasih sakit juga harus bersyukur. Yang maha kuasa berarti ingat pada kita. Memangnya kita mau gimana lagi toh? Memberontak, ngasih penyakit ini ke orang lain? Ya mana bisa.. jadi yah.. hidup ini jalani aja.. kalau takdirnya sembuh.. kita bakal sembuh. Tapi kalau belum, ya tetep usaha supaya sembuh..”

Kakek mengatakan kata-kata itu dengan begitu ringan. Tanpa terlihat ada suatu beban yang tersembunyi. Kakek bilang, semua sudah jalannya. Setiap orang memiliki jalan sulitnya masing-masing, tapi tergantung kita mau melangkah di atas jalan itu bagaimana. Kalau ikhlas, pasti dalam perjalanan akan dimudahkan. Ah, kakek ini.. aku jadi merasa tertampar karena penyakitku yang tak seberapa ini, tapi malah lebih sering mengeluh.

Cerita di selingi dengan cerita tentang anak-anak sang kakek. Yang kata beliau sudah jadi “orang” semua sekarang. Bahkan cucunya kini ada yang kuliah di luar negri. Hal itu semua tidak terlihat dari penampilan kakek yang begitu sederhana. Aku jadi berpikir, apa tidak ada satupun anak kakek yang bisa menemani beliau operasi hari ini? aah.. aku jadi kepikiran macam-macam. Apa nanti, saat aku tua, aku juga akan seperti kakek? Berobat sendirian, ke rumah sakit sendirian. Tak ada anak yang sempat menemani? Aku jadi merasa takut untuk beranjak tua.

Cerita panjang lebar dengan kakek ini pun harus terputus. Ketika nama beliau juga disebut untuk mengurus administrasi askes. Aku kembali di tinggal sendirian. Termenung, merenungkan setiap cerita yang kakek ceritakan tadi. Ahh.. aku masih kurang mensyukuri keadaanku yang masih lebih baik dari orang lain..
Tiba-tiba saja namaku-pun dipanggil. Aku bangkit, membayar biaya administrasi, mengambil berkas askes, dan melenggang pergi menuju poliklinik tempat aku akan kontrol. Poliklinik jantung. Tak kusangka disana aku kembali bertemu dengan kakek pertama. Kakek berseru girang,

“Waaah.. ketemu lagi!” kata beliau sambil tertawa. Cerita yang tadi terputus kembali disambung kakek itu saat lagi-lagi kita harus menunggu di ruang tunggu. Macam-macam ceritanya. Bahkan kini sudah menjurus ke pertanyaan, ‘kelak, saat punya anak, ingin anak laki-laki atau perempuan yang pertama?’. Haha.. cerita ini memang sudah kemana-mana ternyata. Kakek berpesan padaku kelak harus menemukan laki-laki yang baik untukku, dan juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Hem… rasanya masa itu masih lama, tapi dipesankan dari sekarang boleh juga lah.. hehe.

Aku iseng bertanya,
“kenapa kakek sendirian ke rumah sakit?”

Kakek-pun menatapku lekat dengan mata rabunnya itu. terlihat berpikir sejenak. Lalu berkata.
“Kakek selalu punya pedoman hidup, kalau Tuhan adalah teman terbaik kemana pun kita pergi. Jadi tak perlulah kita ikut merepotkan orang lain. Pasti ada Yang Maha Kuasa yang menjaga kita. Kalau di Jawa, ada istilah ojo seneng dadi wong ketok. Ketok e dadi wong seneng.” Kurang lebih begitulah yang kakek bilang. Aku kurang bisa menangkap kata-kata Bahasa Jawanya karena belum mahir dengan bahasa itu.
‘ojo seneng dadi wong ketok. Ketok e dadi wong seneng’. Kakek bilang, kalimat itu punya makna yang sangat bagus. Jangan senang menjadi orang yang ‘terlihat’, lebih baik menjadi orang yang selalu terlihat senang atau bahagia di depan orang lain. ‘Show up’ mungkin istilah yang tepatnya untuk kalimat pertama itu. 
Jangan suka menjadi orang yang senang ‘show up’ di depan orang. Selalu ingin terlihat di mata banyak orang, selalu merasa ingin tampil. Karena kata kakek, orang seperti itu justru sering hanya mementingkan gengsi di depan orang. Yaah, orang-orang seperti itu memang sudah sangat banyak aku lihat contohnya. Di kampusku pun beberapa ada yang suka seperti itu. ‘show up’, ingin terlihat pintar dan hebat di mata orang, ingin menarik perhatian dosen. Seringnya, orang seperti itu menyebalkan dan terkadang pelit ilmu. 

“Lebih baik jadi orang yang terlihat selalu senang.” Kata kakek. Jadi yaaah.. tak perlu lah kita mengabarkan pada orang kita ini sedang sakit, kita ini sedang susah. Biasanya orang yang ceria itu, aslinya punya banyaaaak sekali masalah dan kesulitan. Tapi ia pandai membungkus kesulitan itu dengan senyum dan tawa yang juga membuat orang sekelilingnya senang. Membagikan kebahagiaan ke orang lain, walau keadaan sendiri sebenarnya sedang susah. Ah, aku juga ingin bisa menjadi orang yang keren seperti itu. :D
Jadi itu alasannya kenapa kakek sendirian. Kakek tak mau merepotkan orang, juga tak mau orang banyak tahu tentang kepenatannya. Kakek begitu percaya bahwa ada yang Maha Kuasa yang selalu menemani setiap masa sulitnya. Mungkin kadang pemikiran orang tua tak begitu masuk akal bagi kita. Tapi jika kita mau lebih menelaah pemikiran itu, ternyata ada bagusnya juga kita menerapkannya dalam keseharian. Menjadi pribadi yang bersyukur, mau menerima takdir dengan ikhlas, pribadi yang mandiri, dan selalu bisa membahagiakan orang-orang sekeliling dan pandai menyembunyikan kesulitan sendiri.

Aku jadi mengangguk-angguk sendiri karena ‘pelajaran hidup’ yang aku terima dari dua orang kakek yang aku temui hari ini. Sebenarnya, inilah satu-satunya yang membuat ke rumah sakit jadi ngangenin buatku. Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil, ada banyak cerita yang bisa kudapat. Juga, banyak kenalan tentunya. Walaupun nyaris semuanya lansia.. hehe..

“Mbak Zahra.” Seorang dokter akhirnya memanggilku. Aku bangkit, masuk ke ruangannya. Duduk dengan tenang.

“Sudah pernah di sarankan untuk operasi sebelumnya?”

Hm? Operasi? Aku mengernyitkan kening saat dokter bertanya demikian. Haha… yah, aku sudah dengar dari banyak pihak. Penyakit yang aku punya memang memiliki ending harus di operasi jika ingin sembuh total. Walau bukan sekarang tentunya, entah kapan. Aku harap nanti sajalah. Setelah aku sudah menemukan laki-laki yang baik untukku dan setelah aku menjadi ibu yang baik bagi anakku, seperti yang kakek bilang. Operasi? Yah, lagi-lagi seperti yang kakek bilang. Apapun prosesnya, jalani saja dengan ikhlas. Aku yakin aku akan sembuh! :D

Terima kasih kakek satu dan kakek dua! :D


Read More »»

Minggu, 01 Juli 2012

"A Long Visit"


01.27

Aku melap kacamata-ku, dan mengusap pipiku yang basah. Mataku terasa bengkak karena tangisku selama dua jam saat menonton sebuah film drama korea. Tunggu, jangan mengejekku dulu.. Ini bukan sembarang film korea, bukan tentang percintaan anak muda yang semarak difilmkan belakangan ini. Juga bukan tentang tokoh bertampang keren dan cool yang biasanya dicari dari film-film korea. Bukan. Cerita ini tentang seorang ibu. tentang ketulusan seorang ibu, tentang pengorbanan dan cinta seorang ibu.

“A Long Visit”



Film ini sukses menguras airmata-ku ditengah malam. Ada beberapa adegan dalam film ini yang membuatku sesenggukan. Tokoh anak perempuan dalam film ini membuatku teringat akan diriku sendiri. Yang sering membuat ibunya menangis, yang masih sering berkata keras pada ibunya, yang masih sering tak mau menurut dengan kehendak ibunya. Padahal ibunya selalu saja mendahulukan kepentingan anaknya, selalu menyayangi anaknya dengan sempurna. Selalu rela mengorbankan dirinya demi anaknya. Selalu merasa tak masalah dicaci orang asalkan anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang bahagia. Selalu mau memaafkan anaknya walau terus saja menyayat luka dihatinya.

Aku jadi teringat satu persatu moment disaat aku membuat ibuku kecewa dan bersedih. Lagi, dan lagi. bahkan terlalu sering aku melukai orang yang telah bersakit-sakit melahirkan aku ini. ibu. Aku jadi menyesali kerasnya kepala-ku dulu. Saat aku terus mengotot agar keinginan-ku bisa dipenuhi, padahal ibu paling tahu kalau itu tidak baik untukku. Saat aku berkata dengan suara yang meninggi pada ibuku, dan itu melukainya. Saat aku membanting pintu kamar-ku, dan itu membuatnya menangis. Ah! Ego yang aku miliki ini sering sekali melukainya.. sebagai anak pertama yang sering membangkang, sebagai anak pertama yang sering melawannya..

Ada kata-kata yang begitu mengena dalam film ini. “Jangan keras pada ibumu. Lembutlah kepadanya selagi kau masih sempat..”. Aku tercenung sesaat saat mendengar dialog itu. Aku menerawang, selagi masih sempat... yah, kita tidak tahu sampai mana batas kesempatan kita untuk dapat berbakti pada orang tua. Pada ibu khususnya. Mungkin waktunya masih panjang, tapi bisa saja begitu singkat. Mendadak aku menjadi takut. Bagaimana jika kesempatan yang aku punya, sebagian besarnya sudah aku habiskan untuk melukai hati ibuku? Bagaimana jika kesempatan yang aku punya, sangat singkat sehingga aku tak sempat membuatnya bangga?

Aku membayangkan hal yang sebenarnya tak ingin aku bayangkan. Yah, takdir siapa yang tahu? Aku takut Allah menjemput ibuku sebelum aku dapat membalas semua jasanya padaku. Aku takut Allah mengambil ibuku sebelum aku mengatakan maaf atas kesalahan yang terus menerus aku perbuat. Aku belum sempat menggenggam tangannya, memeluknya hangat, mengecup tangannya. Hal yang sudah nyaris setahun ini tidak aku lakukan, karena aku jauh disini. ya Allah, aku mohon, jangan Kau ambil orangtua-ku sebelum aku dan adik-adikku selesai melaksanakan tugas sebagai anak dengan baik. jangan Kau ambil mereka sebelum aku dan adikku berhasil membuat mereka bangga pada kami..

Aku kira awalnya, film ini sama seperti film-film yang sering aku tonton. Sang anak pada akhirnya menyesali semua perbuatan salahnya terhadap ibunya, disaat ibunya telah tiada. Hingga akhir kisahnya ditutup dengan penyesalan berkepanjangan dari sang anak. Aku kira, ceritanya akan seperti itu. tapi ternyata film ini sedikit lain. Yang ‘pergi’ duluan justrulah sang anak. Karena kanker, sang anak harus ‘pergi’ duluan meninggalkan ibunya..

Lagi-lagi aku seperti berkaca pada diriku. Aku dan penyakitku. Bisa saja usia yang aku punya tak lebih panjang dari usia orangtuaku, tidak lebih lama dari ibuku. Bisa saja kan? Aku jadi ingat kata-kata ibuku saat lagi-lagi aku mengeluh sakit.

“Sabar.. ini berarti teteh sedang diingatkan oleh Allah.. usia seseorang itu bisa panjang, tapi bisa juga pendek. Hal yang harus teteh lakukan adalah ikhlas menerima takdir itu. ikhlas jika memang usia yang teteh miliki tak sepanjang yang teteh harapkan. Ikhlas, seperti ummi yang juga ikhlas terhadap teteh..”



Airmataku luruh lagi. aku takut, terus saja takut penyakit yang mengganggu ini suatu saat akan merebut nyawaku. Sebelum aku membuatnya bangga, sebelum aku membuatnya hidup dengan bahagia, sebelum aku bisa memperlihatkan betapa aku mencintainya walau terus saja menjadi anak yang pembangkang. Kadang aku bertanya pada diri sendiri. Apa kelak, penyakit ini yang kelak akan membuat aku mati? Karena setiap dalam sakitnya, aku selalu merasakan hadirnya malaikat maut itu.

Aku belum siap ya Allah.. masih banyak yang harus aku lakukan untuk ibuku. Aku ingin ibuku yang mengenggam tanganku saat aku sampai di pelaminan. Aku ingin melihat ibuku menjadi seorang nenek yang bahagia, dikelilingi oleh anak-anakku kelak. Aku ingin anak-anakku kelak masih bisa melihat nenek dan kakeknya, masih bisa ikut berbakti pada nenek dan kakeknya.. karena itu, aku berharap, baik usiaku maupun usia orangtuaku, bisa sampai pada moment bahagia itu..

Sebentar lagi aku pulang. Kesempatana ini harus aku gunakan dengan sebaik-baiknya. Bisa birrulwalidain secara langsung, bukan hanya lewat doa dan telepon seperti yang setahun ini aku lakukan. Aku ingin menjadi anak yang benar-benar berbakti pada ibuku. Sebelum aku menjadi ibu bagi anak-anakku..
Read More »»

Semoga


Kabar itu membuat nafsu makanku mendadak hilang. Bukan karena saking buruknya sebuah kabar itu, bukan.. Tapi justru karena sebaliknya. bisa dibilang.. mendengar kabar itu aku seolah-olah menemukan sebuah oase di tengah padang pasir yang terik. Bulu kuduk-ku merinding, hatiku meletup-letup. Kabar ini kabar bahagia. Lalu, kenapa nafsu makanku hilang? Hmm, entahlah. Entah apa yang bereaksi dalam tubuhku saat mendengar kabar menggembirakan ini sehingga rasa laparku bisa menguap begitu saja..

Hm.. mungkin sebenarnya kabar ini belum-lah utuh sebagai sebuah kabar gembira. Masih berupa sebuah kesempatan untuk mendapatkan ‘kabar bahagia’ itu. Tapi hatiku sudah terlanjur mengucap syukur. Allah telah memperlihatkan pintu itu padaku. Pintu menuju jalan keluar dari permasalahan yang aku hadapi kini. Ah, bukan masalah sih sebenarnya, tapi hanya sesuatu yang sesekali mengganggu pikiranku. Dan saat pintu itu kini terlihat di depan mataku, hatiku mulai merasa lega.

Kabar apa itu?

Hm.. hm.. Aku masih belum bisa menuliskannya disini. Kabar ini masih berupa ‘kesempatan’, bukan sesuatu hal yang kini sudah ada dalam genggamanku. Untuk sekarang, aku hanya dapat  menatap ‘pintu’ itu, tapi belum bisa memasukinya. Masih ada bebrapa proses yang harus aku tempuh untuk dapat memasukinya. Masih ada beberapa langkah lagi menuju pintu itu. jadi, aku belum bisa mengabarkannya pada banyak orang, sekarang. Semoga saja, semoga pintu yang sudah Allah perlihatkan itu benar-benar bisa aku masuki. Karena [entah bagi orang lain] bagiku, kabar ini begitu berarti.

Mungkin ini terkesan berbelit. aku sendiri bingung mekmaknai kalimat-kalimat di atas. Aku hanya ingin mencoba mengurai rasa syukur ini. Ketika aku dihadapkan pada KuasaNya, pada keadilanNya, pada kasih sayangNya. Yang kali ini kembali membuat air mataku setetes dua tetes menyembul dari sudut mataku. Aku terharu. Terharu akan cintaNya yang tak pernah habis untukku, padahal aku seringkali melupakanNya di sela-sela langkahku disini. Padahal aku masih saja berlangganan untuk lalai dalam menjalankan perintahNya. Padahal aku masih sering menduakanNya dengan hal-hal dunia yang sebenarnya sama sekali tak menjanjikan kebahagiaanku. 

Tapi Allah, selalu mengingatku.

Selalu mendengar doaku. Selalu menuntunku ketika aku kehilangan arah. Selalu melapangkan hatiku ketika terasa sempit. Selalu, selalu menerima aku kembali walau dengan segunung dosa.. hari ini, ketika telingaku mendengar kabar itu, hatiku bergetar. Karena aku merasakan dekatnya Allah. Karena aku merasakan Maha Mendengarnya Ia.. 

Aku menatap tulisan-tulisan penyemangat di dinding kamarku. Mataku terpaku pada sebuah kalimat,

“Allah tahu, tapi menunggu. Semua akan indah pada waktunya.”

semua ada waktunya. semoga kesempatan ini dapat aku genggam. Semoga aku bisa memasuki pintu itu. Semoga..

Read More »»