Siang ini terasa lebih terik dari biasanya. Aku mengkayuh
sepedaku dengan terengah-engah. Ingin rasanya segera sampai di kosan dan
bersantai sambil minum minuman dingin. Kota pelajar ini belakangan memang
terasa lebih panas. Membuat aku jadi semakin malas keluar dari kosan kalau
bukan karena ada agenda kampus.
Lampu merah menyala, aku terpaksa ikut berhenti bersama
rombongan kendaraan lainnya. Ya ampun..
panas-panas begini harus berjemur di tengah-tengah jalan raya!.
Sempat-sempatnya aku mengeluh. Sambil menunggu lampu berubah menjadi hijau, aku
mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Di antara motor dan mobil yang
menyesakkan jalan, mataku menangkap sosok remaja tanggung dengan wajah kumal.
Ia sibuk melap kaca jendela mobil yang sedang terjebak di lampu merah tanpa
diminta oleh si-pemilik kendaraan. Mungkin ia berharap setidaknya orang yang
berada di dalam mobil itu akan memberikan sedikit recehnya untuk menyambung
hidupnya. Namun yang ia dapatkan hanya gerakan tangan tanda menolak dari sang
pemilik mobil. Entah dengan tatapan apa aku melihat anak remaja yang kurang
beruntung itu. miris rasanya..
Disisi lain, aku melihat ada seorang bapak-bapak yang sedang
berdiri di pinggir trotoar jalan, menimang-nimang anak yang sedang
digendongnya. Rasa letih begitu kentara terlihat dari wajahnya. Lama juga aku
menatap bapak-bapak itu, juga melihat anak yang digendongnya. Masih sangat
kecil, mungkin seumuran bayi yang baru bisa berdiri. Panas-panas begini, sudah
dibawa berjemur oleh sang ayah, ikut tersengat oleh cahaya matahari siang terik..
beliau kemudian memanggil dua orang anak kecil yang sedari tadi sudah
berkeliling dari satu mobil ke mobil lainnya, dari satu motor ke motor lainnya,
meminta sekoin dua koin. Lalu berbicara dengan anak-anak itu entah membicarakan
apa karena aku masih belum bisa mengerti bahasa orang sini. aku jadi bingung
harus berkomentar apa. Aku yakin sebenarnya bapak itu pun tak mau menyakiti
anaknya. Tapi, apa boleh buat?
Lampu lalu lintas mendadak berwarna hijau. Tak bisa
lama-lama aku mengamati anak remaja atau bapak-bapak itu. aku harus kembali mangkayuh
sepedaku mengikuti arus kendaraan lain. Pulang menuju kosan. Melepas lelah.
Tapi setiba di kosan, dua orang itu membuat aku jadi berpikir..
Entah mereka yang memang bernasib tak beruntung atau dunia
yang terlalu kejam?
Tidak ada satu orang-pun yang berharap lahir di dunia dengan
masa depan yang tak pasti. Setiap orang normal, pasti akan selalu mengharapkan
kebahagiaan terjadi pada setiap episode hidupnya. Fisik yang rupawan, otak yang
cerdas, harta yang mencukupi, keluarga yang bahagia, dan masa depan yang cerah.
Atau paling tidak, memiliki salah dua atau tiga dari kriteria bahagia tersebut.
Mungkin defenisi bahagia bagi setiap orang berbeda, tapi tidak menutup
kemungkinan setiap orang berharap untuk memiliki itu semua. Termasuk mereka.
Ya, mereka pun mungkin berharap itu semua ada dalam hidupnya. mereka yang
berbaju kumal, yang menenteng gelas atau ember kecil penampung receh, yang
memikul sekarung botol-botol bekas dipunggungnya, yang menggenggam gitar usang
di tiap-tiap lampu merah. Berharap, paling tidak mereka masih bisa makan esok
hari..
Bukan mereka yang memilih menjadi orang-orang yang terjebak
dalam kondisi seperti itu! mereka juga ingin memiliki mimpi dan bebas
mewujudkannya dengan fasilitas yang memadai. Mereka juga ingin bisa hidup layak
tanpa harus meminta-minta atau mengandalkan barang bekas orang lain. Mereka
juga ingin, setidaknya sekali saja, makan ditempat-tempat mahal yang sering
mereka lihat di iklan-iklan tv. Mereka juga ingin punya pakaian bagus dan
bermerk. Mereka juga ingin punya rumah sendiri yang layak dan nyaman. Mereka
juga ingin sekolah dan bisa kuliah. tapi mungkin karena nasib mereka yang tidak
beruntung atau dunia yang terlalu kejam.. Sehingga semua keinginan itu harus membeku.
Yah.. setiap orang memang berhak memiliki pandangan yang
berbeda. Mungkin ada juga yang berpikir mereka itu bernasib seperti itu karena
kesalahan mereka sendiri yang tak mau berusaha merubah hidupnya. Malas
bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian. Tidak pandai
memanfaatkan celah kesempatan yang ada, hingga nasib mereka, turun temurun
begitu-begitu saja. Tapi.. cobalah berpikir, sekali saja, berpikir bagaimana
seandainya kita bertukar tempat dengan mereka. Menjalani hidup mereka,
merasakan kelaparan mereka..
Melihat mereka, sempat terbesit pikiran bodoh dalam otakku,
apa Allah itu tidak adil? Disaat shubuh baru beranjak, kulihat seorang nenek
mengorek-ngorek tempat sampah mencari barang-barang bekas yang masih bisa ia
jual. Itupun hasilnya tak seberapa dibandingkan dengan lelah kaki tuanya yang
berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah. Dan disaat yang sama, para
petinggi-petinggi korup sedang asyik masyuknya menyeruput kopi pagi. Atau
mungkin masih ada yang nyenyak dibalik selimutnya. Tak perlu bersusah payah
meniti jalanan untuk mencari makan. Hanya dengan menandatangani ini itu,
sejumlah rupiah dalam skala besar bisa langsung masuk ke rekening banknya. Sekali
lagi, apa Allah itu tidak adil?
Tapi, entah bagaimana cara menjelaskannya, aku tahu Allah
itu adil. Allah itu Maha adil.
Bagi orang-orang yang hidup dengan berlimpah nikmat. Bukan
pula mereka yang memilih ada dalam kondisi serba berkecukupan atau-pun lebih
seperti itu. ingin apa pun tinggal beli, semua serba tinggal menggesek kartu
kredit. Baju bagus-bagus, makan tak perlu berpikir berapa harganya, tidur bisa
nyenyak di kasur empuk, punya rumah mentereng, ingin sekolah dimana pun bisa!
Bukan mereka yang “memilih” menjadi kaya, tapi Allah-lah yang berkehendak. sekali
saja Allah ingin mencabut semua nikmat itu kembali.. semuanya bisa saja hilang.
Suatu saat nikmat itu bisa saja hilang..
Allah yang mengaturnya. Allah yang menciptakan keadaan yang
tampak timpang ini. Bukan berarti Allah itu tidak adil. Allah itu maha Adil.
Keadaan timpang ini diciptakan untuk membuat makhluk yang diberi akal ini bisa
berpikir, bagaimana caranya bisa saling melengkapi satu sama lain. Agar yang mereka
bernasib lebih baik, berpikir untuk bisa berbagi, bukan semakin tenggelam dalam
keinginan-keinginan yang tak pernah sampai pada batas kepuasan. Agar mereka
yang mungkin kurang beruntung bisa berpikir untuk bersabar menjalani hidup.
Aku merasa tertampar. Selama ini masih sempat-sempatnya
merasa tidak puas dengan apa yang aku miliki sekarang. Mengeluhkan hal-hal
sepele. Merasa kekurangan ditengah kecukupan. Aku disini, kakiku disini,
memijak tanah kota pelajar yang tak pula semua orang bisa memijaknya. Duduk
disini, di bangku kuliah yang tak semua orang bisa merasakannya. masih bisa
makan sampai kenyang, masih bisa berpakaian bagus. Seharusnya itu menjadi
“cukup” bagiku.
Astaghfirullah…
Aku tak boleh menutup mataku untuk mereka, bukan? Kelak aku
harus bisa menjadi orang yang setidaknya, bisa memberi satu catatan kebahagiaan
dalam hidup mereka. Untuk bisa berbagi, aku harus berjuang. Tidak
menyia-nyiakan apa yang aku miliki sekarang. Harus melejit cepat menjadi orang
besar yang bisa menolong banyak orang. Menjadi orang yang mengerti tentang
‘keadilan’ Allah. Karena nikmat yang aku punya, bukan untuk aku sendiri, tapi
juga untuk bermanfaat bagi ‘mereka’. Walau kini tanganku masih belum mampu
merangkul mereka.. tapi, insyaAllah, suatu saat nanti..
Sudahkah cita-cita kita dirancang untuk dapat bermanfaat bagi banyak orang? Khususnya bagi orang-orang yang membutuhkan ‘manfaat’ dari kita kelak. Karena sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain..
Aku harus peduli pada mereka. kita harus peduli pada
mereka..
Read More »»