Minggu, 29 April 2012

#Introspeksi


Siang ini terasa lebih terik dari biasanya. Aku mengkayuh sepedaku dengan terengah-engah. Ingin rasanya segera sampai di kosan dan bersantai sambil minum minuman dingin. Kota pelajar ini belakangan memang terasa lebih panas. Membuat aku jadi semakin malas keluar dari kosan kalau bukan karena ada agenda kampus.

Lampu merah menyala, aku terpaksa ikut berhenti bersama rombongan kendaraan lainnya. Ya ampun.. panas-panas begini harus berjemur di tengah-tengah jalan raya!. Sempat-sempatnya aku mengeluh. Sambil menunggu lampu berubah menjadi hijau, aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Di antara motor dan mobil yang menyesakkan jalan, mataku menangkap sosok remaja tanggung dengan wajah kumal. Ia sibuk melap kaca jendela mobil yang sedang terjebak di lampu merah tanpa diminta oleh si-pemilik kendaraan. Mungkin ia berharap setidaknya orang yang berada di dalam mobil itu akan memberikan sedikit recehnya untuk menyambung hidupnya. Namun yang ia dapatkan hanya gerakan tangan tanda menolak dari sang pemilik mobil. Entah dengan tatapan apa aku melihat anak remaja yang kurang beruntung itu. miris rasanya..

Disisi lain, aku melihat ada seorang bapak-bapak yang sedang berdiri di pinggir trotoar jalan, menimang-nimang anak yang sedang digendongnya. Rasa letih begitu kentara terlihat dari wajahnya. Lama juga aku menatap bapak-bapak itu, juga melihat anak yang digendongnya. Masih sangat kecil, mungkin seumuran bayi yang baru bisa berdiri. Panas-panas begini, sudah dibawa berjemur oleh sang ayah, ikut tersengat oleh cahaya matahari siang terik.. beliau kemudian memanggil dua orang anak kecil yang sedari tadi sudah berkeliling dari satu mobil ke mobil lainnya, dari satu motor ke motor lainnya, meminta sekoin dua koin. Lalu berbicara dengan anak-anak itu entah membicarakan apa karena aku masih belum bisa mengerti bahasa orang sini. aku jadi bingung harus berkomentar apa. Aku yakin sebenarnya bapak itu pun tak mau menyakiti anaknya. Tapi, apa boleh buat?



Lampu lalu lintas mendadak berwarna hijau. Tak bisa lama-lama aku mengamati anak remaja atau bapak-bapak itu. aku harus kembali mangkayuh sepedaku mengikuti arus kendaraan lain. Pulang menuju kosan. Melepas lelah. Tapi setiba di kosan, dua orang itu membuat aku jadi berpikir..

Entah mereka yang memang bernasib tak beruntung atau dunia yang terlalu kejam?

Tidak ada satu orang-pun yang berharap lahir di dunia dengan masa depan yang tak pasti. Setiap orang normal, pasti akan selalu mengharapkan kebahagiaan terjadi pada setiap episode hidupnya. Fisik yang rupawan, otak yang cerdas, harta yang mencukupi, keluarga yang bahagia, dan masa depan yang cerah. Atau paling tidak, memiliki salah dua atau tiga dari kriteria bahagia tersebut. Mungkin defenisi bahagia bagi setiap orang berbeda, tapi tidak menutup kemungkinan setiap orang berharap untuk memiliki itu semua. Termasuk mereka. Ya, mereka pun mungkin berharap itu semua ada dalam hidupnya. mereka yang berbaju kumal, yang menenteng gelas atau ember kecil penampung receh, yang memikul sekarung botol-botol bekas dipunggungnya, yang menggenggam gitar usang di tiap-tiap lampu merah. Berharap, paling tidak mereka masih bisa makan esok hari..

Bukan mereka yang memilih menjadi orang-orang yang terjebak dalam kondisi seperti itu! mereka juga ingin memiliki mimpi dan bebas mewujudkannya dengan fasilitas yang memadai. Mereka juga ingin bisa hidup layak tanpa harus meminta-minta atau mengandalkan barang bekas orang lain. Mereka juga ingin, setidaknya sekali saja, makan ditempat-tempat mahal yang sering mereka lihat di iklan-iklan tv. Mereka juga ingin punya pakaian bagus dan bermerk. Mereka juga ingin punya rumah sendiri yang layak dan nyaman. Mereka juga ingin sekolah dan bisa kuliah. tapi mungkin karena nasib mereka yang tidak beruntung atau dunia yang terlalu kejam.. Sehingga semua keinginan itu harus membeku.

Yah.. setiap orang memang berhak memiliki pandangan yang berbeda. Mungkin ada juga yang berpikir mereka itu bernasib seperti itu karena kesalahan mereka sendiri yang tak mau berusaha merubah hidupnya. Malas bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian. Tidak pandai memanfaatkan celah kesempatan yang ada, hingga nasib mereka, turun temurun begitu-begitu saja. Tapi.. cobalah berpikir, sekali saja, berpikir bagaimana seandainya kita bertukar tempat dengan mereka. Menjalani hidup mereka, merasakan kelaparan mereka..

Melihat mereka, sempat terbesit pikiran bodoh dalam otakku, apa Allah itu tidak adil? Disaat shubuh baru beranjak, kulihat seorang nenek mengorek-ngorek tempat sampah mencari barang-barang bekas yang masih bisa ia jual. Itupun hasilnya tak seberapa dibandingkan dengan lelah kaki tuanya yang berjalan menyusuri tempat sampah demi tempat sampah. Dan disaat yang sama, para petinggi-petinggi korup sedang asyik masyuknya menyeruput kopi pagi. Atau mungkin masih ada yang nyenyak dibalik selimutnya. Tak perlu bersusah payah meniti jalanan untuk mencari makan. Hanya dengan menandatangani ini itu, sejumlah rupiah dalam skala besar bisa langsung masuk ke rekening banknya. Sekali lagi, apa Allah itu tidak adil?

Tapi, entah bagaimana cara menjelaskannya, aku tahu Allah itu adil. Allah itu Maha adil.

Bagi orang-orang yang hidup dengan berlimpah nikmat. Bukan pula mereka yang memilih ada dalam kondisi serba berkecukupan atau-pun lebih seperti itu. ingin apa pun tinggal beli, semua serba tinggal menggesek kartu kredit. Baju bagus-bagus, makan tak perlu berpikir berapa harganya, tidur bisa nyenyak di kasur empuk, punya rumah mentereng, ingin sekolah dimana pun bisa! Bukan mereka yang “memilih” menjadi kaya, tapi Allah-lah yang berkehendak. sekali saja Allah ingin mencabut semua nikmat itu kembali.. semuanya bisa saja hilang. Suatu saat nikmat itu bisa saja hilang..

Allah yang mengaturnya. Allah yang menciptakan keadaan yang tampak timpang ini. Bukan berarti Allah itu tidak adil. Allah itu maha Adil. Keadaan timpang ini diciptakan untuk membuat makhluk yang diberi akal ini bisa berpikir, bagaimana caranya bisa saling melengkapi satu sama lain. Agar yang mereka bernasib lebih baik, berpikir untuk bisa berbagi, bukan semakin tenggelam dalam keinginan-keinginan yang tak pernah sampai pada batas kepuasan. Agar mereka yang mungkin kurang beruntung bisa berpikir untuk bersabar menjalani hidup.

Aku merasa tertampar. Selama ini masih sempat-sempatnya merasa tidak puas dengan apa yang aku miliki sekarang. Mengeluhkan hal-hal sepele. Merasa kekurangan ditengah kecukupan. Aku disini, kakiku disini, memijak tanah kota pelajar yang tak pula semua orang bisa memijaknya. Duduk disini, di bangku kuliah yang tak semua orang bisa merasakannya. masih bisa makan sampai kenyang, masih bisa berpakaian bagus. Seharusnya itu menjadi “cukup” bagiku.

Astaghfirullah…
Aku tak boleh menutup mataku untuk mereka, bukan? Kelak aku harus bisa menjadi orang yang setidaknya, bisa memberi satu catatan kebahagiaan dalam hidup mereka. Untuk bisa berbagi, aku harus berjuang. Tidak menyia-nyiakan apa yang aku miliki sekarang. Harus melejit cepat menjadi orang besar yang bisa menolong banyak orang. Menjadi orang yang mengerti tentang ‘keadilan’ Allah. Karena nikmat yang aku punya, bukan untuk aku sendiri, tapi juga untuk bermanfaat bagi ‘mereka’. Walau kini tanganku masih belum mampu merangkul mereka.. tapi, insyaAllah, suatu saat nanti..

Sudahkah cita-cita kita dirancang untuk dapat bermanfaat bagi banyak orang? Khususnya bagi orang-orang yang membutuhkan ‘manfaat’ dari kita kelak. Karena sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain..

Aku harus peduli pada mereka. kita harus peduli pada mereka..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar