Kamis, 30 Desember 2010

khalil gibran : persahabatan

Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.

Dan dia menjawab:
Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.

Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.
Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.
Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;
Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.


Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..
Kerana dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan..
Read More »»

Minggu, 26 Desember 2010

asma nadia's short story : Cinta Laki-laki Biasa

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.


Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Read More »»

Sabtu, 25 Desember 2010

obat penenang itu adalah Al-Qur'an



Ga jarang hati kita tiba2 ngerasa gundah. Gersang dan kadang hampa. Ga jarang pikiran kita tiba2 kacau, gak tenang dan awut2an. Hilang semangat berkepanjangan, badmood seharian. Bawaannya jadi males untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Ya, aku juga mengalami hal2 itu. Dan biasanya, kita bakal mencari pelarian dari semua hal yang membuat kita sumpek itu.

Tapi terkadang, kita sering salah dalam mencari pelarian. Salah mencari tempat curahan. tempat untuk melampiaskan semua ke-tidak tenang-an, kegersangan dan badmood itu. Pelarian yang salah, justru malah memperpanjang cerita gundah di hati kita.

Banyak orang yang sering melampiaskannya pada hal2 yang justru ga bermanfaat. Mereka uraikan masalah2 itu dalam deretan status2 fesbuk, atau di jejaring sosial lainnya. Atau juga cerita pada teman, yang ujung2nya malah bercerita tentang hal2 ga penting yang hanya membuang waktu yang berharga. Ngebloglah, atau apalah. Masing2 orang punya pelampiasan yang berbeda. Dan sekali lagi, aku juga begitu…
Akh! Atau sebenernya sekarang ini aku sedang menceritakan tentang diriku sendiri(?). -_-“

(astaghfirullah…)

Okehlah, ini memang cerita tentang diriku sendiri. Yang entah kenapa akhir2 ini sering merasa gundah gulana ga jelas. Down semangat tiba2, dan ga tenang… disaat2 seperti itu aku berpikir mungkin aku sedang stress atau setengah gila. Aaaaaaargghhh… *what happen to me??!
T_T



Aku tahu. Padahal seharusnya aku mati2an fokus untuk belajar. Nasib anak kelas tiga yang malang… *hufffhh…
Tapi pada nyatanya aku malah kebalikannya. Justru mengalami puncak kelabilan di kelas tiga ini. Hiks…

Aku mulai sering mencari pembenaran2 versiku sendiri. Menganggap kalau hal2 ini wajar saja terjadi pada anak anak remaja. Menganggap kalau proses down2 ga jelas ini adalah proses pendewasaan yang harus aku lalui. (jiaaah). *yah, awalnya aku berpikir seperti itu…

Sampai pada akhirnya, seorang sahabat mengirimiku pesan lewat fesbuk.

“Ada apa? Apa lagi ada masalah?”

Tanyanya yang mungkin merasa ganjil dengan status yang baru aku buat. Status yang menyiratkanku kalau aku sedang setengah gila. -_-“
aku menghela nafas panjang sebelum membalas pesannya itu.

“hehe.. ga ada apa2 kok. Yah, biasalah… anak remaja yang lagi labil. Kadang suka nge-hang2 ga jelas.”

Beberapa menit kemudian, ada balesan darinya.

“aduh… dasar anak muda. :P
Kalo ada masalah itu jangan diumbar di fb... Ntar gelisah lagi... Kita kalo ada masalah balek ke qur'an... Tapi cuman saran doang... :-)”

‘jleb’. Ah, rasanya mukaku memerah membacanya. Bukan karena marah atau malu pada sahabatku itu. Tapi… aku malu pada yang menciptakanku. kyaaaaa.... >_< 

Hanya beberapa kata, tepat sasaran. Saat itu juga aku menyadari kenapa selama ini aku merasa gundah ga jelas. Aku salah dalam mencari pelarian… aku salah dalam mencari tempat curahan… yang seharusnya, hanya padaNya bukan? 

Hanya curhat padaNya, kita bisa merasa tenang. Pasti damai rasanya ketika kita merasa semua masalah itu kecil, karena kita punya Allah. Membaca surat2nya lembar perlembar, dan tanpa terasa hati yang gersang itu kembali basah. Mungkin kehampaanku akhir2 ini karena aku sendiri yang telah sering terlupa padaNya. Lebih mendahulukan kepentingan dunia. Hiks… kata2 itu, secara tiba2 membuatku merasa amat berdosa.

Memang benar, mencari tempat curahan selain padaNya, hanya akan menambah gelisah. Atau paling tidak, hanya akan meberikan ketenangan yang sementara. Kita tak akan pernah benar2 merasa tenang, kalau belum mengingatNya… 

Ahh… syukran katsiran sahabat yang telah mengingatkanku >_< Aku merasa semua masalah2 itu kini punya muaranya, semua terasa sudah selesai. Aku tahu, hal yang pertama kali harus aku lakukan ketika aku sedang down adalah, mencari Al-Qur’an! Membacanya hingga aku merasa tenang… Karena ga ada obat penenang yang paling ampuh dibandingkan dengan berzikir padaNya atau membaca al-qur’an.

Legaaaaaa rasanyaaaaa….. 
Dadah! Semua gundah, ga tenang dan down2 gaje! :-P
Read More »»

afgan : dalam mihrab cinta

demi cinta ku pergi
tinggalkanmu relakanmu
untuk cinta tak pernah
ku sesali saat ini
ku alami ku lewati

reff:
suatu saat ku kan kembali
sungguh sebelum aku mati
dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

suatu hari kau kan mengerti
siapa yang paling mencintai
dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya

karena cinta ku ikhlaskan
segalanya kepadanya
untuk cinta tak pernah
ku sesali saat ini
ku alami ku lewati

repeat reff [2x]

suatu saat ku kan kembali
sungguh sebelum aku mati
dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

suatu hari kau kan mengerti
siapa yang paling mencintai
dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya semoga semoga
Read More »»

Kamis, 23 Desember 2010

sahabat

Aku menemukan ukhuwah itu di sini. Di tempat dimana aku dan dirimu berpijak. Dalam tawa kita, dalam duka, dan canda. Salah satu hal yang sangat aku syukuri saat ini adalah, anugrahNya yang telah memberiku sahabat sepertimu. Salahkah aku jika berharap ukhuwah ini kekal? Kekal hingga bertemu kembali di surgaNya…

Kau ada disaat aku butuh tempat untuk bersandar. Disaat aku jatuh, dan hilang semangat. Disaat aku butuh bantuan, dan disaat aku sedang sulit. Disaat aku salah, kau berusaha menunjukkan jalan yang benar. Disaat aku sedang futur, kau memacuku untuk kembali bersemangat. Disaat aku lalai… kau selalu berusaha mengingatkanku. Kau selalu punya tempat untuk menampung macam2 keluh kesahku. Yah, mungkin tak sebanding apa yang aku dapatkan darimu, dengan apa yang aku berikan padamu. tapi satu hal yang aku ingin kau tahu, aku akan selalu berusaha untuk menjadi sahabat terbaikmu. Karena aku menyayangimu karena Allah…

Masa yang menyenangkan ketika kita sama-sama berjuang. Berjuang ketika nilai turun, berjuang ketika sama2 berada dalam futur. Berjuang ketika hati kita sama2 terjajah oleh perasaan asing. Saling menguatkan dan berpegangan erat. Kau takut aku terjerumus dalam rasa yang salah, begitu pula aku. Karenamu, aku punya kekuatan untuk menghadapi masalah yang silih berganti. Ah, entahlah bagaimana lagi aku menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan sahabat sepertimu.



Terkadang mungkin tanganku tak mampu berbuat banyak untukmu… terkadang mungkin lisanku kelu untuk memberikan kata-kata penyemangat ketika kau jatuh… terkadang mungkin aku tak selalu bisa tersenyum padamu. tapi kuharap, Allah menyampaikan isi hatiku ini. Aku yang selalu ingin menjadi penyemangatmu, aku yang selalu ingin menjadi obat dukamu, aku yang selalu ingin menjadi tempat bersandarmu… Lewat doa, kusematkan namamu. Lewat benang2 tak terlihat, kuharap persahabatan kita akan terikat selamannya.

Sahabatku,
Betapa aku bersyukur kau hadir disini. Betapa aku bersyukur kau ada disampingku. Menjadi partner dalam amanah dakwah. Bersama-sama dalam ukhuwah ini. bersama-sama, menapaki jalan perjuangan ini.

Ya akhwaatii,
Ana uhibbukunna fillah! ^^

Read More »»

Kamis, 16 Desember 2010

sendiri menyepi

Sendiri Menyepi..
Tenggelam dalam renungan
Ada apa aku seakan kujauh dari ketenangan

perlahan kucari, mengapa diriku hampa…
mungkin ada salah, mungkin ku tersesat,
mungkin dan mungkin lagi…

Oh Tuhan aku merasa
sendiri menyepi
ingin ku menangis, menyesali diri, mengapa terjadi

sampai kapan ku begini
resah tak bertepi
kembalikan aku pada cahayaMu yang sempat menyala

benderang di hidupku..




Perlahan kucari, mengapa diriku hampa
mungkin ada salah mungkin ku tersesat,
mungkin dan mungkin lagi

Oh Tuhan aku merasa..
sendiri menyepi…
Ingin ku menangis, menyesali diri, mengapa terjadi

sampai kapan ku begini
resah tak bertepi
kembalikan aku pada cahayaMu yang sempat menyala

Oh Tuhan aku merasa……
sendiri….aku merasa sendiri..

sampai kapan begini
resah tiada bertepi…Ooohh..
Kuingin cahyaMu
benderang di hidupku..
 

(edcoustic nasheed)
Read More »»

Sabtu, 27 November 2010

insa – greeting-


(hero jaejoong)


Barami momun gu shigan jocha
Naegen nomu mojarangol
Hanbone miso majimak insa
Saranghamnida gudel

Shigane jichodo sarang-e apado
Gu shigan jocha chuogigo
Majimak insal haneyo
Saranghamnida saranghamnida


Fly away fly away love
Fly away fly away love
Fly away fly away love

Neseng-e dan hanbone sarang-a ahnyong

(Translation)

Even that time when the wind stays
Its not enough for me.
I smile one more time and give my final greeting:
I love you.
I am tired now and love hurts but
Even if that time is just a memory
I have to give my final greeting.
I love you, I love you.
Fly away Fly away LOVE
Fly away Fly away LOVE
Fly away Fly away LOVE
In the afterlife I will greet my love again

Read More »»

mencintai sejantan ‘Ali (salim a.fillah)


kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-



Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.
Di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita..


July 9, 2008 by salim-a-fillah
http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/07/mencintai-sejantan-ali/
Read More »»

Jumat, 26 November 2010

journey ~ Angela zhang

It’s a long long journey
Till I know where I’m supposed to be
It’s a long long journey
And I don’t know if I can believe
When shadows fall and block my eyes
I am lost and know that I must hide
It’s a long long journey
Till I find my way home to you

Many days I’ve spent
Drifting on through empty shores
Wondering what’s my purpose
Wondering how to make me strong

I know I will falter I know I will cry
I know you’ll be standing by my side
It’s a long long journey
And I need to be close to you

Sometimes it feels no one understands
I don’t even know why
I do the things I do
When pride builds me up till I can’t see my soul
Will you break down these walls and pull me through

Cause It’s a long long journey
Till I feel that I am worth the price
You paid for me on calvary
Beneath those stormy skies

When satan mocks and friends turn to foes
It feels like everything is out to make me lose control
Coz It’s a long long journey
Till I find my way home to you.. Ohh.. to you..
Read More »»

Senja Terakhir

“Apa maksudmu?” Tanya Ray hati-hati pada kekasihnya. Hatinya porak poranda. Ia tidak menyangka kalau rasanya akan lebih sakit daripada yang ia bayangkan. Ya, hatinya sakit.

“Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Ray. Aku tak ingin lagi berhubungan denganmu. Denganmu, ataupun dengan laki-laki manapun!” Ray tercekat. Kata-kata terakhir dari kekasihnya begitu meluluh lantakkan hatinya. Cinta yang ia kira akan selamanya, telah kandas.

“Ke.. kenapa, Rian?? Kenapa tiba-tiba kau ingin putus…?” Takut-takut Ray bertanya pada Rian, kekasihnya itu. Takut kalau hal yang akan dikatakan Rian akan lebih membuatnya sakit. Dengan tatapan penuh harap ia memandang Rian, yang sedari tadi tak menoleh padanya. Melainkan selalu memalingkan muka.

“Aku ingin kembali normal, Ray. Kau pasti mengerti. Akhir-akhir ini… aku selalu memikirkan seorang gadis yang aku kenal. Dan aku berpikir, mungkin aku bisa kembali menjadi laki-laki pada umumnya. Maafkan aku, Ray… lebih baik kita kembali kepada kodrat kita sebagai laki-laki…”

Sesak, tiba-tiba saja nafas Ray sesak. Seperti ada panah tajam yang tak terlihat menghujam hatinya tanpa ampun. Luar biasa sakit yang ia rasakan. Matanya pun berkaca-kaca. Sambil tertunduk, ia menyesali kepergian kekasihnya…
*  *  *  *  *


Ray terbangun dari tidurnya. Matanya menyapu seluruh pemandangan malam di luar jendela bus antar provinsi yang ia naiki. Gelap dan sesekali berhias lampu-lampu neon lima watt. Ray memutuskan untuk pergi meninggalkan kotanya, menjauh dari segala hal yang bisa membuatnya teringat akan kenangannya bersama Rian. Mungkin tempat yang kini ia tuju akan memberinya obat dari luka yang ia rasakan kini.

Ia sangat tahu, kalau dirinya itu memang bukanlah manusia normal. Tepatnya, bukan laki-laki normal pada umumnya. Masa lalu yang pahit bersama ibu kandungnya yang kejam membuatnya begitu benci dengan manusia bernama perempuan. Walau mungkin, orang lain tak pernah tahu dengan ketidak-normalannya selama ini. Kalau pun ada yang tahu, pasti tidak akan percaya. Melihat Ray yang berwajah tampan, dan berpenampilan layaknya laki-laki biasanya. Kadang ia tertawa, melihat beberapa surat cinta yang dialamatkan padanya. Semua perempuan itu pembual dan bermuka dua!, pikir Ray. Kakak perempuannya, juga teman-teman kakaknya membuktikan itu semua. Mereka yang bermuka manis di depan laki-laki, tapi diam-diam menusuk dari belakang, membuatnya semakin jijik kepada perempuan.

Namun Ray tetaplah manusia biasa. Manusia yang memang fitrahnya bisa merasakan cinta. Tapi cinta itu bukan hadir dalam wujud bidadari berparas jelita, atau putri kahyangan yang memiliki senyum termanis. Melainkan dari seorang Rian yang ternyata bernasib sama dengannya. Yang ia temui di salah satu night club di ibu kota. Tiga tahun ia tenggelam dalam cinta yang sangat ia muliakan itu. Cinta yang justru akan membuat makhluk di dunia merasa jijik. Ray tak peduli, yang penting baginya adalah ia mendapat kebahagiaan yang ia cari selama ini. Tapi ternyata, kebahagiaan itu pun harus kandas.

Bus yang ia naiki akhirnya tiba di kota yang ia tuju. Bergegas ia mengemasi barang bawaannya. Dan saat bus benar-benar berhenti, ia turun. Bersama beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya.

Pagi masih begitu dini. Dengan keremangan Ray menapaki jalan menuju rumahnya. Ini memang bukan kali pertamanya ia datang ke kota ini. Beberapa kali dalam setahun, ia akan mengunjungi kota ini karena keperluan pekerjaan. Pekerjaannya sebagai seniman memang sedikit banyak menuntutnya untuk mengunjungi banyak kota. Hal itulah yang membuat Ray harus memiliki rumah di beberapa kota. Ya, Ray memang seorang seniman yang cukup di kenal. Walau tak ada yang tahu kebusukan di dalam dirinya. Setidaknya, sampai saat ini orang di sekitarnya, atau para seniman-seniman di sekelilingnya tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadinya. Ia hanya di kenal sebagai seniman sejati yang sampai saat ini setia dengan kelajangannya.

“Eh, kok ga pakai mobil, tuan..?” sapa satpam penjaga rumah setengah kaget dan setengah terkantuk saat Ray tiba di depan rumah. Satpam itu tidak biasa melihat tuannya hanya berjalan kaki.

“Mobil dan rumah saya di sana sudah di jual, Pak. Mungkin saya tidak akan kembali kesana lagi.” Jelas Ray dengan suara yang menyiratkan lelah. Satpam itu hanya diam dan tidak kembali bertanya.

Setiba di rumah, Ray merebahkan tubuhnya di sofa yang empuk. Matanya terasa begitu berat. Belum sampai satu menit, Ray sudah kembali terlelap.

Tiba-tiba saja Ray merasakan panas di sekujur badannya. Panas tiada tara. Ray meringis, karena ada perih yang ia rasakan di badannya. Keringat membanjiri tubuhnya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia terkejut mendapati dirinya sama sekali tidak berpakaian. Sontak ia terbangun.

“Aaarghh!.” Jerit Ray saat ia mencoba untuk bangkit. Ia tidak bisa mengangkat tubuhnya sendiri. Dalam keadaan terbaring ia melihat bekas-bekas luka cambukan memenuhi tubuhnya. Luka-luka itu semakin perih karena ia terbaring di atas pasir panas. Entah sekarang ia ada dimana. Ia tak sanggup mendongakkan kepala menatap langit. Karena matahari yang kini memanggang tubuhnya, terasa begitu sangat dekat dari dirinya.
Ray ingin menangis. Sakit yang ia rasakan benar-benar tidak bisa ia tahan. Belum lagi dengan bau anyir darah yang tercium dari luka-lukanya yang menganga. Perutnya mual, benar-benar mual. Ray bingung dengan apa yang terjadi padanya. Kenapa ia bisa berada di tempat ini? Padang pasir yang luas, dan tak ada seorangpun terlihat. Kenapa ia bisa begini? Kemana pakaiannya? Siapa yang telah menyiksanya dengan sedemikian rupa? Namun semua pertanyaannya itu tak terjawab. Terhanyut dalam sakit di sekujur tubuhnya, akhirnya Ray pingsan.

Ray kembali tersadar saat tiba-tiba saja ia merasa ada seseorang yang mendekat. Perlahan matanya terbuka. Dan alangkah terkejutnya ia, melihat Rian berdiri menatapnya. Rian tersenyum.

“Sa… sayang…” lirih Ray dengan suara nyaris tak terdengar. Ray ingin menggapai wajah Rian, orang yang ia kasihi itu. Namun ia tak sanggup menggerakkan tangannya.

“Ray, aku sekarang bahagia!” Rian berseru riang. Seolah tak peduli dengan apa yang sedang Ray rasakan.

“Keputusanku yang aku ambil, untuk segera meninggalkanmu dan kembali normal itu ternyata tidak salah… aku justru mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat, Ray! Kau tidak percaya?? Gadis itu mau menikahiku… ahh, aku sungguh bahagia…” Rian tersenyum lagi. Benar-benar menyiratkan kebahagiaan. Ray mengerutkan kening. Bingung yang ada di kepalanya semakin kusut.

“Kau ingin tahu kenapa aku ada di sini, Ray? Hahaa… lihatlah Ray. Luka-luka yang sudah sembuh di tubuhku ini… hanya sebentar saja aku rasakan perihnya. Allah ternyata sungguh berbaik hati… dia mau mengampuniku yang benar-benar sudah kotor ini…”
Ray berusaha untuk memperhatikan Rian lebih seksama lagi. Keadaan Rian benar-benar jauh berbeda darinya. Rian berpakaian serba putih. Memang bekas luka masih terlihat di mukanya, tapi luka-luka itu sudah sembuh. Wajahnyapun bersinar teduh, bersih. Dan Rian sama sekali tidak berkeringat! Padahal di tengah padang pasir yang teramat panas ini. Ray semakin menemukan jalan buntu. Ia semakin bingung.

“Kau ingin bertanya bagaimana gadis itu, Ray?” Rian tersenyum, tersipu-sipu. Tanpa perlu menunggu jawaban dari Ray, Rian langsung bercerita.

“Mungkin memang bukan takdirku untuk menikahi gadis sesuci dia, Ray. Aku di jemput lebih dulu setelah hari pernikahanku di tetapkan. Yah, aku bersyukur. Setidaknya aku yang kotor ini tidak akan menodai gadis itu. Aku benar-benar bahagia, Ray! Sebelum aku mati… aku bisa merasakan cinta yang memang sebenarnya cinta… ya, aku benar-benar mencintai gadis itu…” mata Rian menerawang jauh, tapi senyum masih menghiasi wajahnya yang teduh.

“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Allah menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…” Rian mulai beranjak. Tanpa menanyakan keadaan Ray yang semakin tenggelam dalam sakit dan kebingungannya. Ray ingin menahan Rian agar jangan pergi, namun suaranya tak bisa lagi keluar. Akhirnya, Ray hanya bisa melihat Rian yang menjauh dengan linangan air mata.

“Tuhan??” hatinya bertanya pada nuraninya sendiri. Beberapa kali Rian menyebutkan nama Tuhan. Selama ini ia tidak pernah mengenal dengan Tuhannya. Walau ia yakin tuhan itu ada. Tanpa ia sadari, air matanya deras menganak sungai. Ray tergugu.

*  *  *  *  *

“Bip,bip… bip,bip… bip,bip…” alarm di Hp Ray berbunyi. Ray tersentak dan bangkit secara mendadak. Sesaat ia pusing, karena bangkit secara tiba-tiba. Di perhatikan keadaan di sekelilingnya. Dan ia lihat pakaiannya, juga tubuhnya. Tak ada luka sedikitpun. Tapi air matanya benar-benar meleleh.

“Huuffhhh… Cuma mimpi.” Desahnya lega. Sambil mengusap pipinya yang basah. Ia kembali duduk di atas sofa. Ray memegang kepalanya, mencoba mengingat-ingat mimpinya. Benar-benar mimpi yang mengerikan.

“Hahaa… Cuma mimpi. Syukurlah…” gumam Ray sembari tertawa. Iapun bangkit dari sofa, beranjak menuju kamar mandi. Hari ini dia punya janji dengan salah satu seniman di sini. Ia berjanji untuk menghadiri pameran lukisan yang dibuka temannya itu sejak dua hari yang lalu. Ray memang telah mengatakan pada para teman senimannya di kota ini, bahwa ia akan pindah rumah.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian,  Ray meraih kunci mobil yang telah lama tidak ia gunakan. Sebelum sampai di gedung pameran ia harus mencari sarapan terlebih dahulu. Perjalanan tadi pagi yang melelahkan membuatnya sangat lapar.

Pagi ini tampak lebih indah dari biasanya. Cerah, biru membahana. Lukisan kapas-kapas putih menghiasi biru itu. Bergerombol, membuat bentuk-bentuk aneh tak beraturan. Menambah elok paras langit hari ini.

Setibanya di sebuah kafe sederhana, Ray memilih kursi dekat dengan jendela. Ia ingin menikmati sarapan sembari menatap langit. Untunglah pelanggan yang datang masih sedikit. Ray jadi merasa bebas bersantai menikmati sarapan pagi. Sejenak ia bisa melupakan mimpi yang sedikit membuatnya takut itu.

Ray menyeruput kopi yang masih mengepul. Tubuhnya secara serentak merasa hangat. Tiba-tiba saja matanya berbenturan dengan sosok yang baru masuk ke dalam kafe. Ray mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat-ingat wajah yang rasanya pernah ia kenal itu. Wajah mungil dengan bibir tipis kemerahan. Berkacamata, rambutnya berbalut kain berwarna biru muda. Wajah yang cerah, secerah pagi ini. Ray bukan mengagumi wajah jelita itu, bukan. Kalau sampai ia mengagumi hal-hal semcam itu, ia akan berpikir kalau ia sudah mulai tidak waras. Ia hanya merasa heran dengan wajah itu. Wajah yang rasanya menguak kenangan lama, namun tak jua berhasil di ingatnya.

“Siapa gadis itu?” tanya Ray dalam benaknya. Ia perhatikan gerak-gerik sang gadis. Yang mengeluarkan laptopnya sambil menunggu pesanan. Mungkin gadis itu akan menghabiskan beberapa jam di kafe ini. Gadis itu duduk tak jauh darinya. Berhadapan, tepat menghadap Ray. Sesekali menyeruput teh hangat yang baru di pesannya. Matanya tak lepas dari layar monitor, dan tangannya sibuk entah mengetik apa.

Tiba-tiba saja mata gadis itu bertemu dengan mata Ray. Ray gelalapan. Sedangkan gadis itu hanya kembali menundukkan kepala. Sebersit benci muncul di hatinya. Merasa bodoh karena telah memperhatikan seorang gadis. Tangannya menepuk-nepukkan kepalanya agak keras. Agar otaknya kembali dalam kewarasan yang biasanya. Ia kesal, karena gadis itu tahu ia memperhatikannya.

“Kau bodoh, ya??!” geram hatinya. Cepat-cepat ia menghabiskan sarapannya. Dan bergegas meninggalkan kafe menuju gedung pameran. Namun sayangnya, selama perjalanan menuju pameran, pikiran Ray belum lepas dari gadis itu. ia benar-benar merasa kalau ia pernah bertemu dengan gadis itu. Entah dimana. Semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat kenangan itu memberontak. Ray membanting setirnya, berbelok berlawanan arah dengan tempat gedung pameran itu berada. Ada yang harus aku lakukan untuk kembali mewaraskan otakku, pikir Ray.

Mobil Ray berhenti di sebuah diskotik. Ia tahu, sepagi ini diskotik memang belum buka. Tapi ia merasa butuh pergi ke diskotik. Ia meraih telpon genggamnya, dan menghubungi seseorang. Ia mengenal pemilik diskotik ini, dan meminta untuk membukanya sekarang.

“Kenapa kau tiba-tiba kemari? Sampai minta bukain pagi-pagi begini… hooaahemm…” tanya pemilik diskotik itu setengah terkantuk. Ia memang tengah terlelap saat Ray menelponnya.

“Aku butuh beberapa gelas. Yang kadarnya rendah saja, aku tidak bisa mabuk pagi ini.” Jelas Ray serius. Walau pemilik tersebut sedikit heran, tapi tetap dipenuhinya juga permintaan Ray itu.

“Bagaiman kabar usahamu ini Jo?” tanya Ray saat ia mulai merasa nyaman. Jo medelik. Dan terkekeh.

“Hehe… kau tau sendiri kan, Ray. Membuka usaha night club ini benar-benar menguntungkan. Orang lebih banyak yang butuh kemari ketika sedang suntuk daripada ke mesjid! Ah, dunia memang sudah gila. Tapi itu menguntungkan aku.. haha..” tawa Jo lepas. Kantuknya nyaris hilang.

“Haha.. dasar kau otak bisnis. Aku mulai hari ini pindah ke kota ini. Jadi mungkin aku akan jadi pelanggan tetapmu mulai sekarang.” Ray kembali menenggak beberapa gelas.

“Oh ya? Kau sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan Rian?” tanya Jo. Jo memang satu-satunya orang yang tahu tentang sifat binatangnya itu. Ray hanya tersenyum getir. Lalu menyeringai.

“Rian? Ah, aku tak kenal dia… haha. Hei, Jo. Kalau kau menemukan orang yang setipe denganku, beri tahu aku ya. Aku sedang butuh seseorang.” Ray menyeringai lagi.

“Hei,hei… kau menakutiku. Apa kau putus dengan Rian??” tanya Jo hati-hati. Ray hanya diam, menatap gelas-gelas dengan dingin.

“Ehm… baiklah. Aku akan mengabarimu kalau aku menemukannya.” Balas Jo lagi tanpa ingin merusak mood temannya itu.

“Tapi, apa kau tidak ingin mencoba perempuan?? Cobalah sekali-kali…. Hehe… kalau bertanya soal perempuan, aku punya banyak koneksi.” Canda Jo lagi. Ray menatap Jo tajam. Membuat Ray menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu, Ray itu walau memiliki kelainan, tapi kekuatannya tetaplah lelaki. Ia bisa habis jika macam-macam dengan sosok atletis itu.

“Sudahlah. Suasana hatiku sedang kacau. Jangan bercanda lagi.” Pinta Ray, tegas. Membuat hati pecundang Jo menjadi ciut. Ray mengambil kunci mobilnya, dan kembali melaju menuju pameran lukisan.

Sesampainya di sana, Ray kembali dikejutkan oleh sesosok gadis. Gadis yang pagi tadi ia lihat di kafe! Dan yang membuatnya bingung, gadis itu kini tampak sedang berdiskusi dengan Andrea, teman senimannya yang mengundangnya untuk datang itu. Ray enggan untuk menghampiri Andrea karena gadis itu. ia pun memilih untuk berkeliling sambil menunggu urusan gadis itu selesai. Ia tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.
Satu jam sudah ia berkeliling, menikmati tiap-tiap lukisan Andrea. sesekali mengomentari di dalam hati, dan tak jarang ia berdecak kagum melihat lukisan-lukisan yang terpajang rapi di sepanjang koridor gedung. Andrea memang seniman berbakat! Pujinya dalam hati. Setelah ia merasa yakin bahwa gadis itu sudah tidak ada lagi, Ray pun mencari Andrea. dan tidak sulit menemukan pemilik pameran ini yang sepanjang hari selalu diikuti oleh wartawan-wartawan lokal.

“Ehem.” Ray berdehem. Andrea menoleh.

“Oh, hai! Ray… waah… akhirnya yang aku tunggu datang juga. Kenapa baru datang?  Kau ini benar-benar senang membuat orang menunggu ya?” sapa Andrea hangat. Ray menjabat tangan sahabatnya itu sambil tersenyum.

“Haha… aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi tadi aku lihat kau sedang asyik berdiskusi dengan seorang gadis. Aku takut mengganggu. Jadi ya… aku berkeliling dulu. Waah, aku salut! Aku akui aku masih kalah dengan lukisan-lukisanmu! Hehe…”

“Seorang gadis? Fira maksudmu?” tanya Andrea.

“Eh? Ah… entahlah. Entah gadis yang mana. Hehe. Lagipula, siapa tahu sedari tadi seniman tampan kita ini sudah berkali-kali mengobrol dengan gadis yang berbeda. Mana aku tahu gadis yang mana. Hehe…” canda Ray.

“Ah, kau ini bisa saja Ray. Kalau yang sejam lalu mengobrol denganku itu namanya Shafira Afifah.”
‘Deg’. Tiba-tiba saja jantung Ray berdegup. Nama itu… ah, benarkah gadis itu??

“Hei, Ray. Kau kenapa?” Andrea menyadarkannya dari lamunannya.

“Ah, tidak. Tidak apa-apa… siapa tadi? Fira? Ada perlu apa ia datang kemari?” tanya Ray berbasa-basi. Walau sebenarnya ia sama sekali tidak ingin membahas tentang gadis itu lebih panjang.


“Dia datang kemari untuk mengamati hasil karya-karyaku ini. Fira itu adik kelasku waktu kuliah di London. Dia seorang pengamat seni, namanya cukup dikenal dikalangan pelukis. Masak kau tidak kenal?”
Ray menerawang. Pelan-pelan ia mulai bisa mengingat gadis itu. Nama gadis itu memang pernah terpatri dalam memorinya. Kenangan disaat umurnya sembilan tahun, kembali berkelebat.

Saat itu hujan deras. Ia terkurung diluar pagar bersama lukisan-lukisannya yang mulai basah. Wajahnya lebam membiru, habis dipukuli oleh ibunya sendiri. Ia mendekap kedua lututnya, sambil berharap lukisannya tidak basah. Ia ingin menangis, tapi airmata itu sudah kering.

Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan memayunginya. Ya, gadis kecil berjas hujan biru langit. Gadis kecil itu tersenyum, bibir tipisnya yang kemerahan menambah cantiknya wajah putih itu. bidadari menolongku, itu pikirnya saat itu. ia baru pertama kalinya melihat gadis kecil itu. Mungkin gadis itu  masih kelas satu SD saat itu.

“Kenapa abang hujan-hujanan di luar?” tanyanya polos. Ray hanya terdiam, tak sanggup untuk menjawab. Ia mendekat, merogoh saku jasnya yang ternyata berisi sebungkus kue bolu. Tanpa ragu ia memberi Ray kue itu. perut Ray yang merintih tak sanggup menolak.

“Namaku Shafira Afifah. Nama abang siapa? Kenapa abang hujan-hujanan?” bidadari itu memperkenalkan diri. Lagi-lagi Ray hanya diam. Hanya menatap wajah bocah jelita itu. sambil sesekali menyeka air hujan yang membasahi wajahnya.

“Ini apa bang?” tanyanya sambil meraih bungkusan-bungkusan lukisan yang dipegang Ray. Ray membiarkannya gadis kecil itu melihat hasil karyanya. Dibawah payung biru, gadis itu memperhatikan lukisan Ray dengan seksama.

“Waaaah… bagus sekali bang! Abang sendiri yang buat? Abang hebat ya. Aku juga suka ngegambar. Tapi belum sebagus ini. Hehe…”

‘Tes….’ Ada setetes kehangatan yang ia rasakan kala itu. gadis itulah yang pertama kali memuji karyannya. Ray pun menyunggingkan senyumnya.

“Firaaa…. Cepat pulang. Hujan semakin lebat.” Suara seseorang memecah hujan di ujung jalan. Ray melihat seorang ibu muda membawa payung besar. Fira pun bergegas hendak pergi.

“Iya, Maa…. Eh, bang. Ini boleh buat aku? Boleh ya? Boleh dong…” pintanya dengan memohon. Seolah lukisan itu adalah lukisan berharga yang sangat diinginkannya. Ray trenyuh, dan hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Gadis itu memekik girang, dan kemudian berlari menghampiri ibunya. Berlari di tengah hujan. Dan itulah kali terakhirnya Ray melihat ada hati bidadari di seorang perempuan. Ya, dari seorang gadis kecil yang periang itu.

Tiba-tiba saja Ray tersadar. Kenangan itu kini benar-benar kuat dalam ingatannya. Kenapa ia sampai lupa dengan kebaikan bidadari kecilnya itu? dan mencap perempuan sebagai iblis. Hati Ray tergugu, ia merasakan kerinduan yang mendalam secara tiba-tiba.

“Satu hal yang aku herankan dari Fira itu Ray. Sampai sekarang ia masih sendiri. Setiap istriku ingin memperkenalkan seseorang padanya, ia menolak halus. Katanya, ia masih menunggu seseorang. Ya, seseorang yang membuatnya terjun dalam dunia seni, katanya. Entah siapa itu. kalau aku bertemu dengan lelaki itu, aku akan menghajarnya. Teganya dia membuat gadis sejelita Fira menunggu terlalu lama. Hehe…” jelas Andrea dengan nada bercanda. Tapi penjelasan itu seolah-olah menohok hati Ray.

“Beri aku alamat rumahnya, Dre!” pintanya.

“Eh? Kenapa?” Andrea bingung.

“Aku. ya, mungkin aku lelaki itu dre… tolong, beri aku alamatnya!” desak Ray lagi. Andrea terbelalak. Dan tanpa ragu memberikan alamat Fira pada Ray. Ray kembali melesat dengan mobilnya. Ia berpacu dengan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.

Ray membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rindu yang ia rasakan membuncah-buncah. Dalam waktu sekejap ia dibuat kembali normal oleh seorang gadis. Ya! Bahkan Ray seolah terlupa dengan kebusukannya selama ini. Kebusukannya sebagai seorang Gay. Tanpa sadar, ia tidak melihat ada motor yang menyalipnya dari sisi kiri. Ray terkejut, dan membanting setirnya kearah kanan. Naas, sebuah truk menantinya di sisi kanan. Dan kecelakaan itu terjadi tanpa terelakkan.

Mata Ray buram. Lama kelamaan pandangannya semakin samar. Terdengar suara orang yang berteriak panik.  Kenangan-kenangannya membayang di pelupuk mata. Saat-saat ia kotor menjadi gay, wajah Rian yang tegas meminta putus, luka-luka cambukan yang menganga, terik matahari yang panas, wajah mungil berbibir tipis kemerahan, dan tawa seorang bidadari kecilnya. Semuanya berputar tak beraturan dalam kepalanya. Terngiang pula kata-kata teduh Rian dalam mimpinya…“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Tuhan menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…”

“Tuhan, ampuni aku… aku ingin kembali… Aku mencintainya…” lirih Ray terisak.
Dan seketika, semuanya terasa gelap bagi Ray. Senja yang indah keemasan, tersenyum, menemaninya dikala terakhir. Telah lama ia dirindukan…
Read More »»