Jumat, 26 November 2010

Senja Terakhir

“Apa maksudmu?” Tanya Ray hati-hati pada kekasihnya. Hatinya porak poranda. Ia tidak menyangka kalau rasanya akan lebih sakit daripada yang ia bayangkan. Ya, hatinya sakit.

“Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Ray. Aku tak ingin lagi berhubungan denganmu. Denganmu, ataupun dengan laki-laki manapun!” Ray tercekat. Kata-kata terakhir dari kekasihnya begitu meluluh lantakkan hatinya. Cinta yang ia kira akan selamanya, telah kandas.

“Ke.. kenapa, Rian?? Kenapa tiba-tiba kau ingin putus…?” Takut-takut Ray bertanya pada Rian, kekasihnya itu. Takut kalau hal yang akan dikatakan Rian akan lebih membuatnya sakit. Dengan tatapan penuh harap ia memandang Rian, yang sedari tadi tak menoleh padanya. Melainkan selalu memalingkan muka.

“Aku ingin kembali normal, Ray. Kau pasti mengerti. Akhir-akhir ini… aku selalu memikirkan seorang gadis yang aku kenal. Dan aku berpikir, mungkin aku bisa kembali menjadi laki-laki pada umumnya. Maafkan aku, Ray… lebih baik kita kembali kepada kodrat kita sebagai laki-laki…”

Sesak, tiba-tiba saja nafas Ray sesak. Seperti ada panah tajam yang tak terlihat menghujam hatinya tanpa ampun. Luar biasa sakit yang ia rasakan. Matanya pun berkaca-kaca. Sambil tertunduk, ia menyesali kepergian kekasihnya…
*  *  *  *  *


Ray terbangun dari tidurnya. Matanya menyapu seluruh pemandangan malam di luar jendela bus antar provinsi yang ia naiki. Gelap dan sesekali berhias lampu-lampu neon lima watt. Ray memutuskan untuk pergi meninggalkan kotanya, menjauh dari segala hal yang bisa membuatnya teringat akan kenangannya bersama Rian. Mungkin tempat yang kini ia tuju akan memberinya obat dari luka yang ia rasakan kini.

Ia sangat tahu, kalau dirinya itu memang bukanlah manusia normal. Tepatnya, bukan laki-laki normal pada umumnya. Masa lalu yang pahit bersama ibu kandungnya yang kejam membuatnya begitu benci dengan manusia bernama perempuan. Walau mungkin, orang lain tak pernah tahu dengan ketidak-normalannya selama ini. Kalau pun ada yang tahu, pasti tidak akan percaya. Melihat Ray yang berwajah tampan, dan berpenampilan layaknya laki-laki biasanya. Kadang ia tertawa, melihat beberapa surat cinta yang dialamatkan padanya. Semua perempuan itu pembual dan bermuka dua!, pikir Ray. Kakak perempuannya, juga teman-teman kakaknya membuktikan itu semua. Mereka yang bermuka manis di depan laki-laki, tapi diam-diam menusuk dari belakang, membuatnya semakin jijik kepada perempuan.

Namun Ray tetaplah manusia biasa. Manusia yang memang fitrahnya bisa merasakan cinta. Tapi cinta itu bukan hadir dalam wujud bidadari berparas jelita, atau putri kahyangan yang memiliki senyum termanis. Melainkan dari seorang Rian yang ternyata bernasib sama dengannya. Yang ia temui di salah satu night club di ibu kota. Tiga tahun ia tenggelam dalam cinta yang sangat ia muliakan itu. Cinta yang justru akan membuat makhluk di dunia merasa jijik. Ray tak peduli, yang penting baginya adalah ia mendapat kebahagiaan yang ia cari selama ini. Tapi ternyata, kebahagiaan itu pun harus kandas.

Bus yang ia naiki akhirnya tiba di kota yang ia tuju. Bergegas ia mengemasi barang bawaannya. Dan saat bus benar-benar berhenti, ia turun. Bersama beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya.

Pagi masih begitu dini. Dengan keremangan Ray menapaki jalan menuju rumahnya. Ini memang bukan kali pertamanya ia datang ke kota ini. Beberapa kali dalam setahun, ia akan mengunjungi kota ini karena keperluan pekerjaan. Pekerjaannya sebagai seniman memang sedikit banyak menuntutnya untuk mengunjungi banyak kota. Hal itulah yang membuat Ray harus memiliki rumah di beberapa kota. Ya, Ray memang seorang seniman yang cukup di kenal. Walau tak ada yang tahu kebusukan di dalam dirinya. Setidaknya, sampai saat ini orang di sekitarnya, atau para seniman-seniman di sekelilingnya tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadinya. Ia hanya di kenal sebagai seniman sejati yang sampai saat ini setia dengan kelajangannya.

“Eh, kok ga pakai mobil, tuan..?” sapa satpam penjaga rumah setengah kaget dan setengah terkantuk saat Ray tiba di depan rumah. Satpam itu tidak biasa melihat tuannya hanya berjalan kaki.

“Mobil dan rumah saya di sana sudah di jual, Pak. Mungkin saya tidak akan kembali kesana lagi.” Jelas Ray dengan suara yang menyiratkan lelah. Satpam itu hanya diam dan tidak kembali bertanya.

Setiba di rumah, Ray merebahkan tubuhnya di sofa yang empuk. Matanya terasa begitu berat. Belum sampai satu menit, Ray sudah kembali terlelap.

Tiba-tiba saja Ray merasakan panas di sekujur badannya. Panas tiada tara. Ray meringis, karena ada perih yang ia rasakan di badannya. Keringat membanjiri tubuhnya. Saat matanya benar-benar terbuka, ia terkejut mendapati dirinya sama sekali tidak berpakaian. Sontak ia terbangun.

“Aaarghh!.” Jerit Ray saat ia mencoba untuk bangkit. Ia tidak bisa mengangkat tubuhnya sendiri. Dalam keadaan terbaring ia melihat bekas-bekas luka cambukan memenuhi tubuhnya. Luka-luka itu semakin perih karena ia terbaring di atas pasir panas. Entah sekarang ia ada dimana. Ia tak sanggup mendongakkan kepala menatap langit. Karena matahari yang kini memanggang tubuhnya, terasa begitu sangat dekat dari dirinya.
Ray ingin menangis. Sakit yang ia rasakan benar-benar tidak bisa ia tahan. Belum lagi dengan bau anyir darah yang tercium dari luka-lukanya yang menganga. Perutnya mual, benar-benar mual. Ray bingung dengan apa yang terjadi padanya. Kenapa ia bisa berada di tempat ini? Padang pasir yang luas, dan tak ada seorangpun terlihat. Kenapa ia bisa begini? Kemana pakaiannya? Siapa yang telah menyiksanya dengan sedemikian rupa? Namun semua pertanyaannya itu tak terjawab. Terhanyut dalam sakit di sekujur tubuhnya, akhirnya Ray pingsan.

Ray kembali tersadar saat tiba-tiba saja ia merasa ada seseorang yang mendekat. Perlahan matanya terbuka. Dan alangkah terkejutnya ia, melihat Rian berdiri menatapnya. Rian tersenyum.

“Sa… sayang…” lirih Ray dengan suara nyaris tak terdengar. Ray ingin menggapai wajah Rian, orang yang ia kasihi itu. Namun ia tak sanggup menggerakkan tangannya.

“Ray, aku sekarang bahagia!” Rian berseru riang. Seolah tak peduli dengan apa yang sedang Ray rasakan.

“Keputusanku yang aku ambil, untuk segera meninggalkanmu dan kembali normal itu ternyata tidak salah… aku justru mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat, Ray! Kau tidak percaya?? Gadis itu mau menikahiku… ahh, aku sungguh bahagia…” Rian tersenyum lagi. Benar-benar menyiratkan kebahagiaan. Ray mengerutkan kening. Bingung yang ada di kepalanya semakin kusut.

“Kau ingin tahu kenapa aku ada di sini, Ray? Hahaa… lihatlah Ray. Luka-luka yang sudah sembuh di tubuhku ini… hanya sebentar saja aku rasakan perihnya. Allah ternyata sungguh berbaik hati… dia mau mengampuniku yang benar-benar sudah kotor ini…”
Ray berusaha untuk memperhatikan Rian lebih seksama lagi. Keadaan Rian benar-benar jauh berbeda darinya. Rian berpakaian serba putih. Memang bekas luka masih terlihat di mukanya, tapi luka-luka itu sudah sembuh. Wajahnyapun bersinar teduh, bersih. Dan Rian sama sekali tidak berkeringat! Padahal di tengah padang pasir yang teramat panas ini. Ray semakin menemukan jalan buntu. Ia semakin bingung.

“Kau ingin bertanya bagaimana gadis itu, Ray?” Rian tersenyum, tersipu-sipu. Tanpa perlu menunggu jawaban dari Ray, Rian langsung bercerita.

“Mungkin memang bukan takdirku untuk menikahi gadis sesuci dia, Ray. Aku di jemput lebih dulu setelah hari pernikahanku di tetapkan. Yah, aku bersyukur. Setidaknya aku yang kotor ini tidak akan menodai gadis itu. Aku benar-benar bahagia, Ray! Sebelum aku mati… aku bisa merasakan cinta yang memang sebenarnya cinta… ya, aku benar-benar mencintai gadis itu…” mata Rian menerawang jauh, tapi senyum masih menghiasi wajahnya yang teduh.

“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Allah menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…” Rian mulai beranjak. Tanpa menanyakan keadaan Ray yang semakin tenggelam dalam sakit dan kebingungannya. Ray ingin menahan Rian agar jangan pergi, namun suaranya tak bisa lagi keluar. Akhirnya, Ray hanya bisa melihat Rian yang menjauh dengan linangan air mata.

“Tuhan??” hatinya bertanya pada nuraninya sendiri. Beberapa kali Rian menyebutkan nama Tuhan. Selama ini ia tidak pernah mengenal dengan Tuhannya. Walau ia yakin tuhan itu ada. Tanpa ia sadari, air matanya deras menganak sungai. Ray tergugu.

*  *  *  *  *

“Bip,bip… bip,bip… bip,bip…” alarm di Hp Ray berbunyi. Ray tersentak dan bangkit secara mendadak. Sesaat ia pusing, karena bangkit secara tiba-tiba. Di perhatikan keadaan di sekelilingnya. Dan ia lihat pakaiannya, juga tubuhnya. Tak ada luka sedikitpun. Tapi air matanya benar-benar meleleh.

“Huuffhhh… Cuma mimpi.” Desahnya lega. Sambil mengusap pipinya yang basah. Ia kembali duduk di atas sofa. Ray memegang kepalanya, mencoba mengingat-ingat mimpinya. Benar-benar mimpi yang mengerikan.

“Hahaa… Cuma mimpi. Syukurlah…” gumam Ray sembari tertawa. Iapun bangkit dari sofa, beranjak menuju kamar mandi. Hari ini dia punya janji dengan salah satu seniman di sini. Ia berjanji untuk menghadiri pameran lukisan yang dibuka temannya itu sejak dua hari yang lalu. Ray memang telah mengatakan pada para teman senimannya di kota ini, bahwa ia akan pindah rumah.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian,  Ray meraih kunci mobil yang telah lama tidak ia gunakan. Sebelum sampai di gedung pameran ia harus mencari sarapan terlebih dahulu. Perjalanan tadi pagi yang melelahkan membuatnya sangat lapar.

Pagi ini tampak lebih indah dari biasanya. Cerah, biru membahana. Lukisan kapas-kapas putih menghiasi biru itu. Bergerombol, membuat bentuk-bentuk aneh tak beraturan. Menambah elok paras langit hari ini.

Setibanya di sebuah kafe sederhana, Ray memilih kursi dekat dengan jendela. Ia ingin menikmati sarapan sembari menatap langit. Untunglah pelanggan yang datang masih sedikit. Ray jadi merasa bebas bersantai menikmati sarapan pagi. Sejenak ia bisa melupakan mimpi yang sedikit membuatnya takut itu.

Ray menyeruput kopi yang masih mengepul. Tubuhnya secara serentak merasa hangat. Tiba-tiba saja matanya berbenturan dengan sosok yang baru masuk ke dalam kafe. Ray mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat-ingat wajah yang rasanya pernah ia kenal itu. Wajah mungil dengan bibir tipis kemerahan. Berkacamata, rambutnya berbalut kain berwarna biru muda. Wajah yang cerah, secerah pagi ini. Ray bukan mengagumi wajah jelita itu, bukan. Kalau sampai ia mengagumi hal-hal semcam itu, ia akan berpikir kalau ia sudah mulai tidak waras. Ia hanya merasa heran dengan wajah itu. Wajah yang rasanya menguak kenangan lama, namun tak jua berhasil di ingatnya.

“Siapa gadis itu?” tanya Ray dalam benaknya. Ia perhatikan gerak-gerik sang gadis. Yang mengeluarkan laptopnya sambil menunggu pesanan. Mungkin gadis itu akan menghabiskan beberapa jam di kafe ini. Gadis itu duduk tak jauh darinya. Berhadapan, tepat menghadap Ray. Sesekali menyeruput teh hangat yang baru di pesannya. Matanya tak lepas dari layar monitor, dan tangannya sibuk entah mengetik apa.

Tiba-tiba saja mata gadis itu bertemu dengan mata Ray. Ray gelalapan. Sedangkan gadis itu hanya kembali menundukkan kepala. Sebersit benci muncul di hatinya. Merasa bodoh karena telah memperhatikan seorang gadis. Tangannya menepuk-nepukkan kepalanya agak keras. Agar otaknya kembali dalam kewarasan yang biasanya. Ia kesal, karena gadis itu tahu ia memperhatikannya.

“Kau bodoh, ya??!” geram hatinya. Cepat-cepat ia menghabiskan sarapannya. Dan bergegas meninggalkan kafe menuju gedung pameran. Namun sayangnya, selama perjalanan menuju pameran, pikiran Ray belum lepas dari gadis itu. ia benar-benar merasa kalau ia pernah bertemu dengan gadis itu. Entah dimana. Semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat kenangan itu memberontak. Ray membanting setirnya, berbelok berlawanan arah dengan tempat gedung pameran itu berada. Ada yang harus aku lakukan untuk kembali mewaraskan otakku, pikir Ray.

Mobil Ray berhenti di sebuah diskotik. Ia tahu, sepagi ini diskotik memang belum buka. Tapi ia merasa butuh pergi ke diskotik. Ia meraih telpon genggamnya, dan menghubungi seseorang. Ia mengenal pemilik diskotik ini, dan meminta untuk membukanya sekarang.

“Kenapa kau tiba-tiba kemari? Sampai minta bukain pagi-pagi begini… hooaahemm…” tanya pemilik diskotik itu setengah terkantuk. Ia memang tengah terlelap saat Ray menelponnya.

“Aku butuh beberapa gelas. Yang kadarnya rendah saja, aku tidak bisa mabuk pagi ini.” Jelas Ray serius. Walau pemilik tersebut sedikit heran, tapi tetap dipenuhinya juga permintaan Ray itu.

“Bagaiman kabar usahamu ini Jo?” tanya Ray saat ia mulai merasa nyaman. Jo medelik. Dan terkekeh.

“Hehe… kau tau sendiri kan, Ray. Membuka usaha night club ini benar-benar menguntungkan. Orang lebih banyak yang butuh kemari ketika sedang suntuk daripada ke mesjid! Ah, dunia memang sudah gila. Tapi itu menguntungkan aku.. haha..” tawa Jo lepas. Kantuknya nyaris hilang.

“Haha.. dasar kau otak bisnis. Aku mulai hari ini pindah ke kota ini. Jadi mungkin aku akan jadi pelanggan tetapmu mulai sekarang.” Ray kembali menenggak beberapa gelas.

“Oh ya? Kau sendiri? Bagaimana hubunganmu dengan Rian?” tanya Jo. Jo memang satu-satunya orang yang tahu tentang sifat binatangnya itu. Ray hanya tersenyum getir. Lalu menyeringai.

“Rian? Ah, aku tak kenal dia… haha. Hei, Jo. Kalau kau menemukan orang yang setipe denganku, beri tahu aku ya. Aku sedang butuh seseorang.” Ray menyeringai lagi.

“Hei,hei… kau menakutiku. Apa kau putus dengan Rian??” tanya Jo hati-hati. Ray hanya diam, menatap gelas-gelas dengan dingin.

“Ehm… baiklah. Aku akan mengabarimu kalau aku menemukannya.” Balas Jo lagi tanpa ingin merusak mood temannya itu.

“Tapi, apa kau tidak ingin mencoba perempuan?? Cobalah sekali-kali…. Hehe… kalau bertanya soal perempuan, aku punya banyak koneksi.” Canda Jo lagi. Ray menatap Jo tajam. Membuat Ray menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu, Ray itu walau memiliki kelainan, tapi kekuatannya tetaplah lelaki. Ia bisa habis jika macam-macam dengan sosok atletis itu.

“Sudahlah. Suasana hatiku sedang kacau. Jangan bercanda lagi.” Pinta Ray, tegas. Membuat hati pecundang Jo menjadi ciut. Ray mengambil kunci mobilnya, dan kembali melaju menuju pameran lukisan.

Sesampainya di sana, Ray kembali dikejutkan oleh sesosok gadis. Gadis yang pagi tadi ia lihat di kafe! Dan yang membuatnya bingung, gadis itu kini tampak sedang berdiskusi dengan Andrea, teman senimannya yang mengundangnya untuk datang itu. Ray enggan untuk menghampiri Andrea karena gadis itu. ia pun memilih untuk berkeliling sambil menunggu urusan gadis itu selesai. Ia tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.
Satu jam sudah ia berkeliling, menikmati tiap-tiap lukisan Andrea. sesekali mengomentari di dalam hati, dan tak jarang ia berdecak kagum melihat lukisan-lukisan yang terpajang rapi di sepanjang koridor gedung. Andrea memang seniman berbakat! Pujinya dalam hati. Setelah ia merasa yakin bahwa gadis itu sudah tidak ada lagi, Ray pun mencari Andrea. dan tidak sulit menemukan pemilik pameran ini yang sepanjang hari selalu diikuti oleh wartawan-wartawan lokal.

“Ehem.” Ray berdehem. Andrea menoleh.

“Oh, hai! Ray… waah… akhirnya yang aku tunggu datang juga. Kenapa baru datang?  Kau ini benar-benar senang membuat orang menunggu ya?” sapa Andrea hangat. Ray menjabat tangan sahabatnya itu sambil tersenyum.

“Haha… aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi tadi aku lihat kau sedang asyik berdiskusi dengan seorang gadis. Aku takut mengganggu. Jadi ya… aku berkeliling dulu. Waah, aku salut! Aku akui aku masih kalah dengan lukisan-lukisanmu! Hehe…”

“Seorang gadis? Fira maksudmu?” tanya Andrea.

“Eh? Ah… entahlah. Entah gadis yang mana. Hehe. Lagipula, siapa tahu sedari tadi seniman tampan kita ini sudah berkali-kali mengobrol dengan gadis yang berbeda. Mana aku tahu gadis yang mana. Hehe…” canda Ray.

“Ah, kau ini bisa saja Ray. Kalau yang sejam lalu mengobrol denganku itu namanya Shafira Afifah.”
‘Deg’. Tiba-tiba saja jantung Ray berdegup. Nama itu… ah, benarkah gadis itu??

“Hei, Ray. Kau kenapa?” Andrea menyadarkannya dari lamunannya.

“Ah, tidak. Tidak apa-apa… siapa tadi? Fira? Ada perlu apa ia datang kemari?” tanya Ray berbasa-basi. Walau sebenarnya ia sama sekali tidak ingin membahas tentang gadis itu lebih panjang.


“Dia datang kemari untuk mengamati hasil karya-karyaku ini. Fira itu adik kelasku waktu kuliah di London. Dia seorang pengamat seni, namanya cukup dikenal dikalangan pelukis. Masak kau tidak kenal?”
Ray menerawang. Pelan-pelan ia mulai bisa mengingat gadis itu. Nama gadis itu memang pernah terpatri dalam memorinya. Kenangan disaat umurnya sembilan tahun, kembali berkelebat.

Saat itu hujan deras. Ia terkurung diluar pagar bersama lukisan-lukisannya yang mulai basah. Wajahnya lebam membiru, habis dipukuli oleh ibunya sendiri. Ia mendekap kedua lututnya, sambil berharap lukisannya tidak basah. Ia ingin menangis, tapi airmata itu sudah kering.

Tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan memayunginya. Ya, gadis kecil berjas hujan biru langit. Gadis kecil itu tersenyum, bibir tipisnya yang kemerahan menambah cantiknya wajah putih itu. bidadari menolongku, itu pikirnya saat itu. ia baru pertama kalinya melihat gadis kecil itu. Mungkin gadis itu  masih kelas satu SD saat itu.

“Kenapa abang hujan-hujanan di luar?” tanyanya polos. Ray hanya terdiam, tak sanggup untuk menjawab. Ia mendekat, merogoh saku jasnya yang ternyata berisi sebungkus kue bolu. Tanpa ragu ia memberi Ray kue itu. perut Ray yang merintih tak sanggup menolak.

“Namaku Shafira Afifah. Nama abang siapa? Kenapa abang hujan-hujanan?” bidadari itu memperkenalkan diri. Lagi-lagi Ray hanya diam. Hanya menatap wajah bocah jelita itu. sambil sesekali menyeka air hujan yang membasahi wajahnya.

“Ini apa bang?” tanyanya sambil meraih bungkusan-bungkusan lukisan yang dipegang Ray. Ray membiarkannya gadis kecil itu melihat hasil karyanya. Dibawah payung biru, gadis itu memperhatikan lukisan Ray dengan seksama.

“Waaaah… bagus sekali bang! Abang sendiri yang buat? Abang hebat ya. Aku juga suka ngegambar. Tapi belum sebagus ini. Hehe…”

‘Tes….’ Ada setetes kehangatan yang ia rasakan kala itu. gadis itulah yang pertama kali memuji karyannya. Ray pun menyunggingkan senyumnya.

“Firaaa…. Cepat pulang. Hujan semakin lebat.” Suara seseorang memecah hujan di ujung jalan. Ray melihat seorang ibu muda membawa payung besar. Fira pun bergegas hendak pergi.

“Iya, Maa…. Eh, bang. Ini boleh buat aku? Boleh ya? Boleh dong…” pintanya dengan memohon. Seolah lukisan itu adalah lukisan berharga yang sangat diinginkannya. Ray trenyuh, dan hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Gadis itu memekik girang, dan kemudian berlari menghampiri ibunya. Berlari di tengah hujan. Dan itulah kali terakhirnya Ray melihat ada hati bidadari di seorang perempuan. Ya, dari seorang gadis kecil yang periang itu.

Tiba-tiba saja Ray tersadar. Kenangan itu kini benar-benar kuat dalam ingatannya. Kenapa ia sampai lupa dengan kebaikan bidadari kecilnya itu? dan mencap perempuan sebagai iblis. Hati Ray tergugu, ia merasakan kerinduan yang mendalam secara tiba-tiba.

“Satu hal yang aku herankan dari Fira itu Ray. Sampai sekarang ia masih sendiri. Setiap istriku ingin memperkenalkan seseorang padanya, ia menolak halus. Katanya, ia masih menunggu seseorang. Ya, seseorang yang membuatnya terjun dalam dunia seni, katanya. Entah siapa itu. kalau aku bertemu dengan lelaki itu, aku akan menghajarnya. Teganya dia membuat gadis sejelita Fira menunggu terlalu lama. Hehe…” jelas Andrea dengan nada bercanda. Tapi penjelasan itu seolah-olah menohok hati Ray.

“Beri aku alamat rumahnya, Dre!” pintanya.

“Eh? Kenapa?” Andrea bingung.

“Aku. ya, mungkin aku lelaki itu dre… tolong, beri aku alamatnya!” desak Ray lagi. Andrea terbelalak. Dan tanpa ragu memberikan alamat Fira pada Ray. Ray kembali melesat dengan mobilnya. Ia berpacu dengan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.

Ray membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rindu yang ia rasakan membuncah-buncah. Dalam waktu sekejap ia dibuat kembali normal oleh seorang gadis. Ya! Bahkan Ray seolah terlupa dengan kebusukannya selama ini. Kebusukannya sebagai seorang Gay. Tanpa sadar, ia tidak melihat ada motor yang menyalipnya dari sisi kiri. Ray terkejut, dan membanting setirnya kearah kanan. Naas, sebuah truk menantinya di sisi kanan. Dan kecelakaan itu terjadi tanpa terelakkan.

Mata Ray buram. Lama kelamaan pandangannya semakin samar. Terdengar suara orang yang berteriak panik.  Kenangan-kenangannya membayang di pelupuk mata. Saat-saat ia kotor menjadi gay, wajah Rian yang tegas meminta putus, luka-luka cambukan yang menganga, terik matahari yang panas, wajah mungil berbibir tipis kemerahan, dan tawa seorang bidadari kecilnya. Semuanya berputar tak beraturan dalam kepalanya. Terngiang pula kata-kata teduh Rian dalam mimpinya…“Dan ternyata, buah dari taubat itu sangat manis, Ray. Aku memang belum sempat merasakan sentuhan dari seorang gadis, tapi Tuhan menjanjikanku seorang bidadari disini, Ray… aku akan menjemputnya sekarang juga. Ia telah menungguku…”

“Tuhan, ampuni aku… aku ingin kembali… Aku mencintainya…” lirih Ray terisak.
Dan seketika, semuanya terasa gelap bagi Ray. Senja yang indah keemasan, tersenyum, menemaninya dikala terakhir. Telah lama ia dirindukan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar