Jumat, 26 November 2010

Ramadhan dan Agustus

Kicauan burung menghiasi pagi ini. Gemercik air sungai, menambah syahdunya alam. Angin sejuk sepoi-sepoi menghembus, terdengar dedaunan yang saling bergesek. Senandung alam yang merdu. Damai, tentram. Luntur sudah semua kepenatan hidup. Terlupakan sejenak, dengan rasa damai yang menjalar keseluruh pori-pori tubuh. Seseorang memejamkan matanya, sambil merentangkan tangan berdiri diatas sebuah batu di sungai. Menghirup udara yang segar, sambil tersenyum.

“Pagi yang indah ya, Ram…” ujarnya pada seorang temannya yang terduduk di tepi sungai, tak jauh dari tempatnya berdiri. Kini ia menurunkan kakinya setengah betis ke dalam sungai. Air yang segar mengejutkan seluruh sel-sel syaraf dalam otaknya.

“Ya, tapi tidak bagiku Gus…” tanggap Ramadhan, sambil menghela nafas panjang, serasa ingin melepas semua beban yang memberatkan hatinya, menganggu pikirannya. Agustus mendelik heran.


“Apa yang membebanimu, sobat?” Tanya agustus pada sahabatnya itu. Ramadhan hanya mendesah pelan. Ia pun akhirnya menghampiri Ramadhan, duduk di batu yang lebih dekat dengannya.

“Ceritalah… mungkin aku bisa membantu?” Tanya agustus sekali lagi.

“Aku yakin kau tidak bisa membantuku, Gus…” Ramadhan memperhatikan riak-riak sungai dengan tatapan kosong.

“Hmm, setidaknya dengan bercerita akan mengurangi bebanmu. Ceritalah…” bujuk Agustus lagi.

“Hufft. Aku takut Gus. Aku takut kalau-kalau laporanku tahun ini mengecewakan lagi.” Agustus mengerutkan kening.

“Laporan?”

“Ya… Laporanku. Kau enak, Gus… setidaknya laporanmu tidak mengecewakan seperti laporanku.” Ramadhan berdiri, menginjakkan kakinya di sungai. Ia pun mencari batu yang nyaman untuk diduduki.

“Apa yang membuat laporanmu mengecewakan? Memangnya laporanmu tahun lalu mengecewakan?” Tanya Agustus lagi.

“Ya, sangat. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali laporanku tidak mengecewakan…” Agustus hanya diam, menunggu tiap kata dari sahabatnya itu.

“Kau pasti tau kan, banyak manusia yang tercatat beribadah dalam laporanmu tahun lalu?”

“Ya, banyak sekali. Bahkan hampir semua manusia yang mengikuti agama kita tercatat beribadah dalam laporanku. Hal itu membuatku senang.” Jawab Agustus sembari tersenyum, mengingat laporannya tahun lalu.

“Tapi tidak dalam laporanku… nyaris kosong, Gus. Ya.. Nyaris kosong. Bahkan banyak manusia yang melakukan maksiat yang tercatat dalam laporanku tiap tahunnya.” Ramadhan tertunduk dalam, hal ini benar-benar membuat hatinya perih.

“Hmm? Apa maksudmu? Bukankah dalam laporanmu banyak orang yang berpuasa? Seharusnya itu nilai plus bukan? Seperti laporanku…”

“Ya, mereka semua berpuasa. Tapi puasa tinggallah sekedar puasa bagi mereka. Setelah bulan puasa berlalu, apa yang berubah dari mereka, Gus? Apa? Nihil. Nyaris semuanya sia-sia.” Agustus tertegun.

“Kenapa begitu?”

“Mereka puasa bukan karena ikhlas Gus… bukan karena Allah. Banyak di antara mereka menjadikan puasa hanya sebagai rutinitas setiap tahunnya, tanpa hati. Mereka puasa, tetapi hati mereka tidak dipuasakan. Mereka berlapar-lapar dahaga, tetapi nafsu mereka kenyang-kenyangkan!”

“Puasa bagi mereka hanya sebagai identitas. Identitas?? Ya, hanya identitas belaka, Gus… Hanya sebagai bukti kalau agama islam dalam KTP mereka itu benar…”
Agustus masih menatap Ramadhan dengan tatapan heran. Masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan sahabatnya.

“Bukankah mereka semua melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya, Ram? Dalam laporanku, sungguh ramai mesjid-mesjid dengan manusia pada malam hari. Karena bertepatan pula dengan jadwal kerjamu.”
Ramadhan menatap Agustus dengan sendu.

“Ya, Gus… memang benar mereka shalat tarawih, memang benar mereka meramaikan mesjid. Tetapi banyak hati mereka yang salah niat. Mereka jadikan ajang memamerkan diri! Agar terlihat oleh tetangga mereka kalau mereka itu rajin ibadah… taat agama. Mereka shalat, tetapi dengan hati yang sombong. Ada pula yang menjadikan shalat tarawih itu hanya sebagai kewajiban. Ya, kewajiban semata! Bukan karena mereka butuh akan shalat itu sendiri.”

“Khususnya anak-anak remaja, Gus… sungguh perih hati ini melihat mereka yang menodai mesjid. mereka pergi ke mesjid, tetapi bukan untuk tarawih, bukan untuk meramaikan mesjid dengan semestinya. Mereka malah menjadikan mesjid itu untuk tempat mereka berkumpul-kumpul dengan temannya. Atau hanya sebagai alasan mengambil absen ke mesjid. Kau tahu bukan, dalam bulanku ini anak-anak remaja mengikuti pesantren ramadhan, yang mewajibkan mereka untuk tarawih di mesjid?”

“Ya, Ram… itu tercatat dalam laporanku tahun lalu…”

“Hanya karena itulah mereka melakukan shalat itu, Gus… bagaimana aku tidak sedih??” nyaris saja Ramadhan tidak bisa menahan air matanya. Dadanya sudah terasa sangat sesak.

“Lalu, bagaimana dengan infak dan sedekah mereka selama itu, Ram? Bukankah mereka bersedekah?” Tanya agus lagi dengan hati-hati. Kini ia mulai mengerti, dan mulai bisa merasakan apa yang melanda hati sahabatnya itu.

“Sama saja! Sama saja, Gus… ajang menyombongkan diri. Atau ajang sekedar asal-sudah-berinfak saja. Banyak sekali yang justru bukan karena ikhlas. Aku tidak mengerti Gus, kenapa dengan manusia sekarang??”
Agus hanya terdiam. Ia benar-benar tidak tahu semua tentang itu. Yang ia tahu, dan yang ia catat dalam laporannya hanyalah apa yang tampak olehnya secara kasat mata.

“Jangan pula kau tanyakan tentang ibadah-ibadah lainnya, Gus… jangan! Karena semuanya sama saja. NIHIL. Semua yang mereka lakukan itu tidak mengubah apapun. Tidak mempengaruhi mereka sedikitpun. Setelah berpisah mereka dengan bulanku, mereka kembali seperti semula. Kembali jahili! Bukannya kembali menjadi fitri kembali…”

“Itu semua karena mereka sudah kehilangan iman, Gus…. Mereka tidak menyadari ada kekuasaan di atas sana yang selalu mengawasi mereka. hiks” Kali ini hancur sudah pertahanan Ramadhan. Buliran-buliran air hangat menganak sungai di pipinya. Agus hanya bisa menepuk-nepuk pundak Ramadhan dengan lembut. Pikirannya ikut berkecamuk. Tidak menyangka dengan ini semua.

“Mereka tidak tahu, Gus… atau mereka sengaja membutakan mata hati mereka. Mereka tidak peduli akan mulianya bulanku, gus… betapa Rabb kita sudah banyak menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda untuk mereka… tetapi mereka tidak peduli.”

“Mereka isi bulanku dengan kesia-siaan. Dengan maksiat! Mereka menodai bulanku dengan tanpa rasa bersalah, Gus… hiks.”
Untuk beberapa saat mereka saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara riak-riak sungai yang memecah keheningan diantara mereka. Angin memang sepoi-sepoi bertiup, tetapi badai sedang melanda hati mereka berdua.

“Aku benar-benar tidak tahu akan itu, Ram…” Agustus kembali membuka suara. Ramadhan terdiam sejenak, lau menghela nafas…

“Ya, Gus… kau memang tidak tahu. Kita membuat laporan dengan pengamatan yang berbeda bukan? Laporanmu kelaklah yang nantinya akan membuktikan kemunafikan mereka itu, Gus…”

“Jadi, laporanmu yang tahun lalu-kah yang membuatmu merasa terbebani seperti ini?” Tanya Agustus lagi.

“Hmmhh… bukan, Gus. Justru laporanku selanjutnya. Aku takut akan mengecewakanku kembali. Aku takut mereka justru menambah noda dalam laporanku ini. Aku sedih…”
Agustus terdiam lagi.

“Akh, tetapi ada diantara mereka yang membuatku terhibur, gus.” Ujar Ramadhan lagi, wajahnya terlihat lebih cerah. Tanpa Agustus bertanya ‘siapa mereka’ pun, Ramadhan kembali bercerita.

“Mereka yang berpuasa karena memang hatinya yang menginginkannya gus, mereka yang ikhlas sepenuh hati mengisi kebaikan-kebaikan dalam bulanku. Beribadah karena Rabb mereka. Mereka yang merindukanku selama sebelas bulan sebelum bulanku datang. Mereka yang benar-benar mempuasakan hati dan nafsunya. Ya, mereka… walau mereka hanya sedikit Gus, tapi mereka bisa menghiburku. Cukup mengobati hatiku.” Ramadhan tersenyum.

“Semoga mereka yang menyenangkan hatimu itu, jumlahnya semakin bertambah kali ini, Ram…” tanggap Agustus lagi.

“Ya, semoga Gus… dan kuharap laporanku selanjutnya tidak mengecewakanku lagi. Walau… ahh, tidak mungkin rasanya. Manusia sekarang sudah benar-benr berbeda Gus. Sudah banyak yang melupakan Rabbnya…” balas Ramadhan lagi.

Beberapa ekor burung terbang rendah, nyaris menyentuh air sungai. Kicauan merdunya menentramkan hati. Benarlah kata Agustus, dengan bercerita, bisa untuk mengurangi beban di hati Ramadhan. Walau begitu, Ramadhan tidak bisa menghilangkan resah di hatinya. Ia benar-benar takut dan sedih. Percakapan itupun berlanjut. Banyak hal yang mereka bicarakan. Tanpa terasa, matahari pun sudah meninggi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar