Minggu, 09 Juni 2013

"She"

Sejak lahir, aku punya sahabat. Kami ditakdirkan untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun aku berada. Kami tumbuh bersama, belajar bersama, melakukan banyak hal bersama, bahkan menyukai orang yang sama. Tak pernah sekalipun terpisah. Dia yang menemaniku dikala susah maupun senang, dia-lah yang paling setia. Bahkan orangtuaku pun, menyebutku anak yang beruntung karena memiliki dia. Ya, mungkin dia memang anugrah terindah yang dikirimkan tuhan untuk menemani hidupku, karena tak semua orang yang bisa memiliki dia.

Dalam beberapa hal, kami ini memiliki banyak kesamaan. Mulai dari cara berpikir, cara memahami orang, hobby, pelajaran yang dibenci, makanan favorit, dan tipe cowok yang disukai. Banyak sekali hal yang sama-sama kami sukai, ataupun sama-sama tidak kami sukai. Bedanya, aku tumbuh dan dewasa menjadi anak heboh dan cukup supel (kata orang sih). Sedangkan dia, tumbuh menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Dia tak pandai bercakap dengan orang lain. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengenalinya dengan baik, itupun aku yang menjadi perantaranya. Sebegitu tergantungnya dia padaku. Dulu, aku masih bisa memahaminya. Iya, dulu, selagi ia tak banyak menuntut seperti sekarang.

Selama dua tahun ini, dia sedikit banyaknya berubah dari yang aku kenal dulu. Entahlah, semakin kesini dia semakin banyak mengeluh, mengomel, menuntut ini dan itu. Mulai dari persoalan organisasiku di kampus, atau dunia akademik, hingga persoalan aku dengan orang-orang sekelilingku. Membatasi kebebasanku, menghalangiku melakukan hal-hal yang aku sukai. Di depan orang lain ia bisa tenang dan tak berulah, tapi saat hanya ada aku dan dia, keluarlah sifat aslinya itu. Sungguh menipu. Untunglah masih ada beberapa orang yang bisa mengenali sifat aslinya itu, hingga beberapa kali aku dikuatkan untuk menghadapinya. Semakin kesini aku jadi semakin tak mengerti, entah maunya apa. Bukankah dia adalah anugrah?

Disaat ia mengeluh dan mengomel, aku masih bisa meladeninya dengan tenang. Tanpa bermuka kusam, tetap bersikap riang seperti biasanya. Disaat ia menuntutku, terkadang aku jengah juga dengannya. Hingga hariku bisa kacau dibuatnya, tugas-tugasku tertunda, dan banyak deadline yang terabaikan, hanya untuk memenuhi tuntutannya itu. Karena aku jengah, terkadang kamipun terjebak dalam pertengkaran hebat. Yang membuatku hanya bisa menangis sendirian diatas kasur. Yang terkadang membuatku berpikir bahwa kehadiran dia dalam hidupku adalah sebuah ketidakberuntungan. Yang terkadang membuatku ingin segera berpisah, tak mau lagi bersahabat dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Hidupku pun tergantung padanya. Sebelum aku mati, aku tak akan pernah bisa berpisah dari dia.

Namun belakangan ini aku mencoba melapangkan hati. Mencoba untuk dewasa menghadapinya sebagai takdir hidupku. Mencoba untuk tetap tersenyum ketika dia kembali mulai menuntut ini dan itu. Mendengarkannya dengan tenang, saat ia berbicara sesuatu yang sebenarnya tak kumengerti. Sakit? Tentu, sakitnya masih sama. Bagaimanapun persahabatan tanpa adanya saling pengertian itu menyakitkan. Menyiksa hidup dan sering membuatku menangis. Tapi setidaknya belakangan aku semakin kuat, bisa menerimanya dengan apa adanya. Walau aku sendiri masih mencari, apa alasan dibalik anugrah ini. Kenapa aku yang harus bersahabat dengannya, kenapa hanya aku? Mungkin, kelak, entah diusiaku yang keberapa. Aku akan semakin mengerti dia dan menemukan alasan dibalik kehadirannya.


#Siapa dia? dialah, yang selalu berdetak tanpa henti. Agar aku dapat tetap hidup menikmati kefanaan yang ada di dunia ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar