Sejak lahir, aku punya sahabat. Kami ditakdirkan untuk
selalu bersama kapanpun dan dimanapun aku berada. Kami tumbuh bersama, belajar
bersama, melakukan banyak hal bersama, bahkan menyukai orang yang sama. Tak pernah
sekalipun terpisah. Dia yang menemaniku dikala susah maupun senang, dia-lah
yang paling setia. Bahkan orangtuaku pun, menyebutku anak yang beruntung karena
memiliki dia. Ya, mungkin dia memang anugrah terindah yang dikirimkan tuhan
untuk menemani hidupku, karena tak semua orang yang bisa memiliki dia.
Dalam beberapa hal, kami ini memiliki banyak kesamaan. Mulai
dari cara berpikir, cara memahami orang, hobby, pelajaran yang dibenci, makanan
favorit, dan tipe cowok yang disukai. Banyak sekali hal yang sama-sama kami
sukai, ataupun sama-sama tidak kami sukai. Bedanya, aku tumbuh dan dewasa
menjadi anak heboh dan cukup supel (kata orang sih). Sedangkan dia, tumbuh
menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Dia tak pandai bercakap dengan orang
lain. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengenalinya dengan baik, itupun aku
yang menjadi perantaranya. Sebegitu tergantungnya dia padaku. Dulu, aku masih
bisa memahaminya. Iya, dulu, selagi ia tak banyak menuntut seperti sekarang.
Selama dua tahun ini, dia sedikit banyaknya berubah dari
yang aku kenal dulu. Entahlah, semakin kesini dia semakin banyak mengeluh,
mengomel, menuntut ini dan itu. Mulai dari persoalan organisasiku di kampus,
atau dunia akademik, hingga persoalan aku dengan orang-orang sekelilingku. Membatasi
kebebasanku, menghalangiku melakukan hal-hal yang aku sukai. Di depan orang
lain ia bisa tenang dan tak berulah, tapi saat hanya ada aku dan dia, keluarlah
sifat aslinya itu. Sungguh menipu. Untunglah masih ada beberapa orang yang bisa
mengenali sifat aslinya itu, hingga beberapa kali aku dikuatkan untuk
menghadapinya. Semakin kesini aku jadi semakin tak mengerti, entah maunya apa. Bukankah
dia adalah anugrah?
Disaat ia mengeluh dan mengomel, aku masih bisa meladeninya
dengan tenang. Tanpa bermuka kusam, tetap bersikap riang seperti biasanya. Disaat
ia menuntutku, terkadang aku jengah juga dengannya. Hingga hariku bisa kacau
dibuatnya, tugas-tugasku tertunda, dan banyak deadline yang terabaikan, hanya
untuk memenuhi tuntutannya itu. Karena aku jengah, terkadang kamipun terjebak
dalam pertengkaran hebat. Yang membuatku hanya bisa menangis sendirian diatas
kasur. Yang terkadang membuatku berpikir bahwa kehadiran dia dalam hidupku adalah
sebuah ketidakberuntungan. Yang terkadang membuatku ingin segera berpisah, tak
mau lagi bersahabat dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Hidupku pun tergantung
padanya. Sebelum aku mati, aku tak akan pernah bisa berpisah dari dia.
Namun belakangan ini aku mencoba melapangkan hati. Mencoba untuk
dewasa menghadapinya sebagai takdir hidupku. Mencoba untuk tetap tersenyum
ketika dia kembali mulai menuntut ini dan itu. Mendengarkannya dengan tenang,
saat ia berbicara sesuatu yang sebenarnya tak kumengerti. Sakit? Tentu,
sakitnya masih sama. Bagaimanapun persahabatan tanpa adanya saling pengertian
itu menyakitkan. Menyiksa hidup dan sering membuatku menangis. Tapi setidaknya
belakangan aku semakin kuat, bisa menerimanya dengan apa adanya. Walau aku
sendiri masih mencari, apa alasan dibalik anugrah ini. Kenapa aku yang harus
bersahabat dengannya, kenapa hanya aku? Mungkin, kelak, entah diusiaku yang
keberapa. Aku akan semakin mengerti dia dan menemukan alasan dibalik
kehadirannya.
#Siapa dia? dialah, yang selalu berdetak tanpa henti. Agar aku
dapat tetap hidup menikmati kefanaan yang ada di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar