Aku memantapkan langkah, menginjakkan kaki di lantai rumah
sakit yang selalu dingin. Sudah beberapa bulan aku membolos untuk hadir di
sini. Aku jadi canggung dan sedikit pangling dengan kondisi rumah sakit yang
sedikit berbeda. Oh, tempat pendaftaran pasien ternyata sudah berubah. Sudah
dipindahkan ke gedung baru, yang beberapa bulan lalu kulihat masih berupa
bangunan setengah rampung.
Aku mengambil nomor antrian, dibantu oleh seorang satpam
yang selalu siaga berdiri di samping alat pencetak nomor antrian itu. Angka 166
tercetak di kertas yang kini aku genggam. Aku melangkah lagi mencari tempat
duduk, di ruang tunggu khusus pasien askes. Sulit menemukan kursi kosong.
Pasien hari ini begitu banyak ternyata. Terlihat lebih ramai dari biasanya,
beberapa bulan yang lalu. Satu kursi kosong tertangkap oleh mataku, di sebelah
seorang kakek-kakek yang begitu renta.. seorang kakek yang hari ini memberiku
pelajaran yang cukup berharga bagiku.
Aku duduk, setelah mengangguk sopan tanda minta ijin pada
sang kakek itu. kakek itu-pun tersenyum memperlihatkan gigi-gigi ompongnya. Aku
duduk dengan tenang, masih dengan canggungku. Tiba-tiba saja kakek itu
menyapaku, dan bertanya :
“Siapa yang sakit?”
Aku menoleh dengan sedikit gugup. Ah! Rumah sakit ini
membuatku kikuk.
“Saya, kek..” aku menyunggingkan senyum. senyum tulus
tentunya. Dan kakek itupun bertanya lagi,
“Sakit apa emangnya?” hm. Pertanyaan ini sudah dapat ku
tebak pasti akan ditanyakan orang. Dengan ragu aku menjawab..
“Jantung, kek..” kulihat muka kakek itu berubah, rasa
terkejut terbaca di wajahnya. Menyiratkan keheranannya, kenapa bisa anak muda
sepertiku punya penyakit seperti itu?
“Kalau kakek sakit apa?”
saat aku tanya begitu, saat itu pula kakek menjelaskan
segala macam penyakit yang ia punya dengan panjang lebar. Komplikasi. Beberapa
organ dalam tubuhnya memiliki masalah yang serius. ‘yah, beginilah kalau sudah
tua..’ ujar sang kakek dengan tawanya saat aku mengeluarkan ekspresi takut.
Takut membayangkan betapa sakitnya kakek itu selama ini..
Kakek bilang, nama penyakit yang ia idap adalah SARJANA
GILA. Aku mengernyitkan dahi. Hm? Penyakit macam apa itu? rupanya.. itu adalah
singkatan dari berbagai macam penyakit yang kakek punya. SAraf, JAntung,
perNApasan, GInjal, dan guLA. Oalaaah.. bisa saja si kakek ini. kakek tertawa
saat aku tertawa mendengarkan penjelasan dari singkatan aneh yang beliau buat
itu. tapi tetap saja, dalam tawaku aku menyimpan rasa ngeri. Bagaimana kakek
ini bisa melewati hari tuanya dengan penyakit sebanyak itu? dan aku yakin,
tidak hanya kakek ini saja. Tapi juga kakek-kakek yang duduk disebelah kakek
ini. Atau kakek yang duduk paling depan itu, yang begitu terlihat bungkuk dan
renta. Atau juga nenek-nenek tua yang terduduk lemas di atas kursi roda itu.
semuanya pasti punya penyakit yang lebih dari satu. Hmmhh.. aku seperti
diingatkan mereka. “Sesukses apapun masa mudamu, kelak saat tua kau juga akan
seperti ini. jadi, apa yang sebenarnya patut kau sombongkan??”
Kembali ke kakek dengan penyakit sarjana gila-nya tadi.
Pembicaraan kami tak berhenti hanya dengan membahas penyakit masing-masing yang
kami miliki. Kakek itu bercerita banyak hal, bertanya berbagai macam
pertanyaan. Mengajari ini itu, menceritakan masa mudanya dulu. Aku seperti
tenggelam ke masa lalu, seolah menyaksikan sendiri perjalanan hidup dari kakek
ini, walau hanya segelintir saja yang beliau ceritakan.
Sedang asyik-asyiknya bercerita, rupanya nama kakek disebut
oleh bapak-bapak loket pengurus pendaftaran itu. yah, cerita terputus. Sang
kakek pamit duluan menuju loket askes, dan lanjut ke poliklinik tempat ia akan
kontrol penyakitnya itu.. aku kembali termenung sendirian, nomorku masih lama
untuk dipanggil. Sambil menunggu.. tiba-tiba saja seorang kakek-kakek lain yang
duduk di sebelah kakek tadi menyapaku. Sepeti kakek sebelumnya, menanyakan
perihal sakitku, dan lagi, kembali kulihat raut keheranan di wajah beliau.
Kakek yang satu ini tak jauh beda juga dengan kakek
sebelumnya. Ia harus operasi jantung, kontrol paru-paru dan lambungnya.
Haduuuh.. aku ngeri sendiri memikirkan tentang semua penyakit yang diidap
pasien-pasien disini. ternyata penyakitku masih belum seberapa.
Kakek yang ini juga senang bercerita rupanya. Bahkan lebih
heboh dari kakek pertama tadi. Saat kakek ini mengetahui kota asalku, Kota
Padang, kakek langsung berseru,
“Wah! Saya dulu pernah di sana. Di Tabing, tau kan? Walaah..
dulu di sana masih banyak sekali hutan, apalagi hutan gambut.” Cerita kakek.
Aku jadi bersemangat mendengarkan karena ternyata kakek juga pernah ke kota
asalku.
“Tapi pastinya dulu mbak belum ada disana. Tahun ’57 saya
disana dulu..” weleeh, ya iyalah kek. Tahun segitu bahkan orangtua-ku belum
lahir >.<
Ternyata kakek ini dulu seorang tentara. Yang sempat dinas
beberapa waktu di Kota Padang. Sudah melewati berbagai peperangan dan
pemberontakan yang panas di masa-masa lampau itu. hiiih.. padahal aku sudah
ngeri dengan penyakit beliau, kini aku merasa lebih ngeri lagi mendengarkan
cerita-cerita beliau di masa peperangan. Aku jadi teringat dengan almarhum
kakekku sendiri.. yang juga tentara. Tapi sayangnya, beliau sudah tiada saat
ayahku masih kuliah di tahun kedua. Jadi aku tak sempat menjadi cucunya secara
nyata dan mendengarkan kisah-kisah peperangannya.
Kakek tadi bercerita kalau dulu ia pernah tertembak di
bagian bahu kirinya. Dan nyaris mati tertembak musuh jika teman seperjuangannya
tidak menendangnya. Kakek menceritakan huru-hara yang terjadi di tahun 50-an
itu. mendengar cerita kakek, aku seperti menonton film peperangan yang biasanya
ada di tv. Semua yang kakek ceritakan terbayang dalam imajinasiku. Ternyata ini
untungnya menjadi orang yang berimajinasi tinggi (katanya). Semua cerita bisa
segera di visualisasikan. Hehe
Hal yang menarik bagiku, adalah melihat riangnya kakek ini.
dari gelak tawanya, dari selera humornya yang beberapa kali membuatku menutup
mulut karena malu kalau terbahak-bahak di tempat umum (malu lah broo.. kita kan
harus jaga imej! #abaikan). Padahal kakek ini memiliki penyakit yang berat, dan
sebentar lagi harus menghadapi operasi berat. Istri beliau pun kini sedang
berada dalam perawatan pasca operasi pencernaan di rumah sakit lain. Itulah
kenapa sang kakek ini tak ada yang menemani berobat di rumah sakit. Dengan
penyakit sedemikian rupa, kakek masih bisa menceritakannya dengan begitu ringan.
Tanpa mengeluh, terlihat dengan keikhlasan yang penuh. Kakek bilang,
“Yah, kita dikasih sakit juga harus bersyukur. Yang maha
kuasa berarti ingat pada kita. Memangnya kita mau gimana lagi toh? Memberontak,
ngasih penyakit ini ke orang lain? Ya mana bisa.. jadi yah.. hidup ini jalani
aja.. kalau takdirnya sembuh.. kita bakal sembuh. Tapi kalau belum, ya tetep
usaha supaya sembuh..”
Kakek mengatakan kata-kata itu dengan begitu ringan. Tanpa
terlihat ada suatu beban yang tersembunyi. Kakek bilang, semua sudah jalannya.
Setiap orang memiliki jalan sulitnya masing-masing, tapi tergantung kita mau
melangkah di atas jalan itu bagaimana. Kalau ikhlas, pasti dalam perjalanan
akan dimudahkan. Ah, kakek ini.. aku jadi merasa tertampar karena penyakitku
yang tak seberapa ini, tapi malah lebih sering mengeluh.
Cerita di selingi dengan cerita tentang anak-anak sang
kakek. Yang kata beliau sudah jadi “orang” semua sekarang. Bahkan cucunya kini
ada yang kuliah di luar negri. Hal itu semua tidak terlihat dari penampilan
kakek yang begitu sederhana. Aku jadi berpikir, apa tidak ada satupun anak
kakek yang bisa menemani beliau operasi hari ini? aah.. aku jadi kepikiran
macam-macam. Apa nanti, saat aku tua, aku juga akan seperti kakek? Berobat
sendirian, ke rumah sakit sendirian. Tak ada anak yang sempat menemani? Aku
jadi merasa takut untuk beranjak tua.
Cerita panjang lebar dengan kakek ini pun harus terputus.
Ketika nama beliau juga disebut untuk mengurus administrasi askes. Aku kembali
di tinggal sendirian. Termenung, merenungkan setiap cerita yang kakek ceritakan
tadi. Ahh.. aku masih kurang mensyukuri keadaanku yang masih lebih baik dari
orang lain..
Tiba-tiba saja namaku-pun dipanggil. Aku bangkit, membayar
biaya administrasi, mengambil berkas askes, dan melenggang pergi menuju
poliklinik tempat aku akan kontrol. Poliklinik jantung. Tak kusangka disana aku
kembali bertemu dengan kakek pertama. Kakek berseru girang,
“Waaah.. ketemu lagi!” kata beliau sambil tertawa. Cerita
yang tadi terputus kembali disambung kakek itu saat lagi-lagi kita harus
menunggu di ruang tunggu. Macam-macam ceritanya. Bahkan kini sudah menjurus ke
pertanyaan, ‘kelak, saat punya anak, ingin anak laki-laki atau perempuan yang
pertama?’. Haha.. cerita ini memang sudah kemana-mana ternyata. Kakek berpesan padaku
kelak harus menemukan laki-laki yang baik untukku, dan juga menjadi ibu yang
baik bagi anak-anakku. Hem… rasanya masa itu masih lama, tapi dipesankan dari
sekarang boleh juga lah.. hehe.
Aku iseng bertanya,
“kenapa kakek sendirian ke rumah sakit?”
Kakek-pun menatapku lekat dengan mata rabunnya itu. terlihat
berpikir sejenak. Lalu berkata.
“Kakek selalu punya pedoman hidup, kalau Tuhan adalah teman
terbaik kemana pun kita pergi. Jadi tak perlulah kita ikut merepotkan orang
lain. Pasti ada Yang Maha Kuasa yang menjaga kita. Kalau di Jawa, ada istilah ojo seneng dadi wong ketok. Ketok e dadi
wong seneng.” Kurang lebih begitulah yang kakek bilang. Aku kurang bisa
menangkap kata-kata Bahasa Jawanya karena belum mahir dengan bahasa itu.
‘ojo seneng dadi wong ketok. Ketok e dadi wong seneng’.
Kakek bilang, kalimat itu punya makna yang sangat bagus. Jangan senang menjadi
orang yang ‘terlihat’, lebih baik menjadi orang yang selalu terlihat senang
atau bahagia di depan orang lain. ‘Show up’ mungkin istilah yang tepatnya untuk
kalimat pertama itu.
Jangan suka menjadi orang yang senang ‘show up’ di depan
orang. Selalu ingin terlihat di mata banyak orang, selalu merasa ingin tampil.
Karena kata kakek, orang seperti itu justru sering hanya mementingkan gengsi di
depan orang. Yaah, orang-orang seperti itu memang sudah sangat banyak aku lihat
contohnya. Di kampusku pun beberapa ada yang suka seperti itu. ‘show up’, ingin
terlihat pintar dan hebat di mata orang, ingin menarik perhatian dosen. Seringnya,
orang seperti itu menyebalkan dan terkadang pelit ilmu.
“Lebih baik jadi orang yang terlihat selalu senang.” Kata
kakek. Jadi yaaah.. tak perlu lah kita mengabarkan pada orang kita ini sedang
sakit, kita ini sedang susah. Biasanya orang yang ceria itu, aslinya punya banyaaaak
sekali masalah dan kesulitan. Tapi ia pandai membungkus kesulitan itu dengan
senyum dan tawa yang juga membuat orang sekelilingnya senang. Membagikan
kebahagiaan ke orang lain, walau keadaan sendiri sebenarnya sedang susah. Ah,
aku juga ingin bisa menjadi orang yang keren seperti itu. :D
Jadi itu alasannya kenapa kakek sendirian. Kakek tak mau
merepotkan orang, juga tak mau orang banyak tahu tentang kepenatannya. Kakek
begitu percaya bahwa ada yang Maha Kuasa yang selalu menemani setiap masa
sulitnya. Mungkin kadang pemikiran orang tua tak begitu masuk akal bagi kita.
Tapi jika kita mau lebih menelaah pemikiran itu, ternyata ada bagusnya juga
kita menerapkannya dalam keseharian. Menjadi pribadi yang bersyukur, mau
menerima takdir dengan ikhlas, pribadi yang mandiri, dan selalu bisa membahagiakan
orang-orang sekeliling dan pandai menyembunyikan kesulitan sendiri.
Aku jadi mengangguk-angguk sendiri karena ‘pelajaran hidup’
yang aku terima dari dua orang kakek yang aku temui hari ini. Sebenarnya,
inilah satu-satunya yang membuat ke rumah sakit jadi ngangenin buatku. Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil, ada
banyak cerita yang bisa kudapat. Juga, banyak kenalan tentunya. Walaupun nyaris
semuanya lansia.. hehe..
“Mbak Zahra.” Seorang dokter akhirnya memanggilku. Aku
bangkit, masuk ke ruangannya. Duduk dengan tenang.
“Sudah pernah di sarankan untuk operasi sebelumnya?”
Hm? Operasi? Aku mengernyitkan kening saat dokter bertanya
demikian. Haha… yah, aku sudah dengar dari banyak pihak. Penyakit yang aku
punya memang memiliki ending harus di operasi jika ingin sembuh total. Walau
bukan sekarang tentunya, entah kapan. Aku harap nanti sajalah. Setelah aku
sudah menemukan laki-laki yang baik untukku dan setelah aku menjadi ibu yang
baik bagi anakku, seperti yang kakek bilang. Operasi? Yah, lagi-lagi seperti
yang kakek bilang. Apapun prosesnya, jalani saja dengan ikhlas. Aku yakin aku
akan sembuh! :D
Terima kasih kakek satu dan kakek dua! :D
Read More »»